Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

09 September 2015

JUAL BELI IJAZAH DAN PEMALSUAN IJAZAH PALSU, PINTU MASUK RUSAKNYA MORAL BANGSA


      Oleh: Wahyudi Oetomo, S.Pd
          Baru-baru ini dunia pendidikan tinggi di Jawa Timur ditampar berita tak sedap saat Menristekdikti, Muhammad Nasir, membekukan 3 Universitas di Jawa Timur terkait dengan pemalsuan ijazah. Ketiga perguruan tinggi yang dibekukan operasionalnya, yakni Universitas PGRI Jember, Universitas Ronggolawe Tuban dan Universitas IKIP Budi Utomo di Malang. Sungguh kabar yang mencoreng dunia pendidikan. Penulis khawatir, terungkapnya 3 perguruan tinggi di Jatim tersebut dalam kasus ijazah palsu hanyalah sebuah fenomena gunung es, yang terlihat hanya permukaannya saja.
            Harta, kedudukan, dan prestise adalah godaan terbesar bagi pembeli ijazah palsu. Saat perubahan status gelar diraih terbukti membawa implikasi peningkatan pendapatan, kenaikan jabatan, atau sekedar prestise, membeli ijazah menjadi pilihan instan untuk meraih semua impian itu. Hukum permintaan barang pun jadi berlaku, “ada kebutuhan ada barang”. 
            Trend makanan cepat saji, ikut merembet ke dunia pendidikan. Ijazah instan menggoda banyak  orang untuk memperolehnya, meski dengan resiko yang teramat berat bila terungkap. Waktu kuliah minimal empat tahun bagi sebagian orang dianggap terlalu lama untuk meraih gelar sarjana. Bila ada pilihan tanpa kuliah bisa mengantongi ijazah sarjana, mengapa harus kuliah susah payah. Ditambah adanya keterlibatan perguruan tinggi dan oknum “dosen” atau “mantan dosen” dalam jaringan jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah akan memperbesar keyakinan para peminat ijazah palsu bahwa aksinya  relatif aman.
            Ketika ditanya siapa yang salah atas maraknya kasus jual beli ijazah palsu di negeri ini, tentu saja yang paling bersalah adalah “penjual” dan “pembeli” ijazah palsu. Penjual dan pembeli ijazah palsu menjalin “simbiosis mutualisme haram” demi memenuhi kebutuhannya masing-masing. Pemerintah turut andil salah dalam maraknya praktik jual beli  ijazah palsu karena lemahnya kontrol pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan sehingga praktik jual beli ijazah palsu berlangsung bertahun-tahun tak terjamah hukum secara signifikan. Kita perlu mengapresiasi langkah pemerintah melalui Menristekdikti yang bertekad melakukan investigasi atas beredarnya ijazah palsu di Indonesia. Kita akan melihat apakah gebrakan  Menristekdikti ini hanya “hangat-hangat tahi ayam” atau langkah serius menghilangkan praktik jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah.
            Praktik jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah menurut pengamat LIPI telah lama terjadi dengan berbagai modus. Menristekdikti menganggap masalah jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah sudah menjadi isu nasional. Jika tengara bahwa jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah telah terjadi demikian massif dalam skala nasional, maka penanganannya juga harus dilakukan secara massif dan cepat. Langkah Kemenristekdikti yang akan melakukan pengecekan ijazah sejumlah dosen dan PNS di seluruh Indonesia adalah langkah yang tepat. Melalui cara ini diharapkan terungkap ijazah-ijazah palsu yang beredar di masyarakat. Dosen dan PNS yang terungkap menggunakan ijazah palsu atau “aspal” (asli tapi palsu) harus diberikan sanksi pemecatan.
Selain sanksi pemecatan, pelaku jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah harus berhadapan dengan tuntutan hukum. Dalam pasal 263 KUHP pelaku pemalsuan ijazah diancam dengan hukuman penjara selama enam tahun. Sedangkan dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 67, pelaku pemalsuan ijazah diancam pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Jika langkah pemberantasan jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah palsu serius dilakukan Kemenristekdikti maka penegakan hukumnya adalah wajib. Bila sanksi yang diberikan kepada pelaku jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah tidak memberikan efek jera karena hukum bisa ditawar sehingga menghasilkan sanksi hukum yang ringan maka praktik jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah akan tetap subur di negeri ini.
            Teknologi berkembang dengan sangat cepat, begitu pula dalam dunia kejahatan. Teknologi pemalsuan berkembang mengikuti kemajuan jaman. Duplikasi ijazah dari ijazah asli ke ijazah palsu kian sempurna. Semakin amat sulit membedakan ijazah palsu dengan yang asli. Namun, selalu saja ada jalan untuk membongkar sindikat pemalsuan ijazah. Ibarat pepatah, “sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga”. Jika secara fisik sangat sulit membedakan ijazah palsu dengan ijazah asli cara yang paling ampuh adalah mencocokkan data ijazah dengan data base ijazah alumni perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah tersebut.
Praktik pemalsuan ijazah adalah pintu masuk rusaknya moral bangsa ini. Bayangkan, bila semua elemen kehidupan bangsa ini ditempati oleh pelaku-pelaku pemalsuan ijazah, maka rusaklah negeri ini. Berbagai jabatan dan pekerjaan di negeri ini akan ditempati oleh orang-orang yang bukan ahlinya, karena mereka tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang menjadi prasarat menduduki jabatan itu.  Belum lagi, mental dasar dari pelaku pemalsuan ijazah yang jauh dari karakter jujur, ini akan menjadi modal awal untuk melakukan berbagai pelanggaran jabatan, termasuk korupsi.
Bila pemalsuan ijazah di negeri ini tetap dibiarkan tumbuh subur, maka tunggulah kehancuran negeri ini. Sanksi yang berat kepada pelaku penjual dan pembeli ijazah harus diberikan jika ingin mengakhiri praktik jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah di negeri ini. Penegakan hukum yang tidak pandang bulu diyakini sebagai cara ampuh memberantas jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah. Mari membangun negeri ini dengan kejujuran !

09 Agustus 2015

Menunggu Aturan Baru Kenaikan Pangkat PNS Guru



            Sesaat setelah pelantikan dirinya menjadi Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Bima Aria Wibisana, menyampaikan bahwa BKN akan mengubah mekanisme  kenaikan pangkat pegawai negeri sipil (PNS). BKN menerapkan sistem kenaikan pangkat secara otomatis setiap empat tahun tanpa harus melalui mekanisme pengusulan seperti yang diterapkan selama ini.
            Bima Aria Wibisana mengatakan kebijakan ini berlaku untuk PNS struktural dan juga PNS fungsional seperti guru. “Ada beberapa prosedur yang harus diikuti para guru sebelum kenaikan pangkat secara otomatis. Guru PNS tetap harus mengumpulkan angka kredit untuk bisa naik pangkat. “Harus membuktikan angka kreditnya bisa memadai,” katanya.
            “Lha, terus di mana otomatisnya?”, mungkin itu komentar kebanyakan guru. Bahkan para guru yang sekaligus netizen banyak berkomentar miring di dunia maya terhadap aturan tambahan yang masih mengharuskan guru masih mengumpulkan angka kredit. “Kenapa kalau guru selalu dibuat susah. PNS lain untuk memperoleh tunjangan remunerasi atau tunjangan kinerja tak perlu prosedur yang rumit sementara guru masih harus mengikuti diklat yang belum tentu langsung lulus. Bila kenaikan pangkat otomatis guru PNS masih diwajibkan mengumpulkan  angka kredit, terus apa bedanya dengan sistem kenaikan pangkat yang lama?”, itulah barangkali rangkuman keresahan sebagian guru terhadap rencana perubahan mekanisme kenaikan pangkat PNS otomatis.

Naik Pangkat adalah Hak Guru
            Rasanya memang terlalu prematur asumsi beberapa guru menyikapi munculnya aturan baru kenaikan pangkat guru PNS, karena  aturan teknis dari perubahan pola kenaikan pangkat itu belum ada. Bahkan BKN masih terus berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dalam menentukan pola baru kenaikan pangkat guru.
Naik pangkat bagi seorang guru PNS adalah hak. Bila ada guru PNS terhambat kenaikan pangkatnya karena prosedur birokrasi yang rumit  tentu sangat merugikan guru PNS yang bersangkutan. Sepekan sebelum Kongres ke 21 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), ketua umum PB PGRI Sulistyo mengungkapkan, saat ini banyak guru yang putus asa karena tidak mendapatkan sebagian haknya sebagai pengajar. Salah satunya dalam hal kenaikan golongan kepangkatan. "Sekarang (2013) sekitar 800 ribu guru mandek di golongan IVa, tak bisa naik pangkat. Banyak guru yang putus asa karena kerja sudah baik kok tak bisa menerima haknya," kata Sulistyo.
Masih menurut Sulistyo, penyebab mandeknya golongan kepangkatan ratusan ribu guru ini dikarenakan belum baiknya sistem ketentuan angka kredit dan kenaikan golongan kepangkatan. Syarat harus mengumpulkan karya tulis ilmiah (KTI) hasil penelitian adalah kendala utama guru untuk naik pangkat. Guru kurang dilatih untuk bisa melakukan penelitian dan menuliskan hasilnya dalam sebuah laporan penelitian. Kalaupun ada banyak guru lolos naik pangkat ke IVb dan seterusnya, kebanyakan karya KTI yang dikumpulkan adalah karya tulis “jahitan” orang lain yang memiliki kualitas asal jadi.
Sudah bukan rahasia di kalangan guru, untuk naik pangkat golongan IVb ke atas, guru lebih banyak memilih jalur pintas dengan membeli KTI “jahitan”. Penyebabnya, selain memang banyak guru memiliki kemampuan minim menyusun KTI, juga ada sinyalemen yang berkembang bahwa KTI yang dibuat sendiri akan sulit lolos dalam penilaian angka kredit.
          Jika pola kenaikan pangkat guru PNS tak beda jauh dengan sistem lama, maka perubahan sistem kenaikan pangkat menjadi kenaikan otomatis tak akan dinikmati sepenuhnya oleh guru PNS. Bahkan ada pernyataan yang patut dikhawatirkan oleh para guru PNS yang disampaikan oleh kepala BKN bahwa ada tenggat waktu pengumpulan angka kredit, kalau batas waktunya tidak dipenuhi ada sanksi-sanksinya,  diberhentikan sementara dari guru biar fokus.

Jangan Persulit Kenaikan  Guru
            Secara jujur harus diakui bahwa selama ini sistem kenaikan pangkat guru sangat dimudahkan, khususnya kenaikan pangkat di bawah IVa. Guru bisa naik pangkat dalam waktu dua tahun. Kondisi ini sering membuat iri PNS lain, karena mereka baru bisa naik pangkat minimal empat tahun. Mungkin, untuk melambatkan laju kenaikan pangkat guru PNS, ketika sudah mencapai pangkat IVa dibuatlah persyaratan yang membuat tidak semua guru bisa melaluinya. Guru yang mau naik pangkat ke IVb dan seterusnya harus membuat KTI yang tidak semua guru mampu melakukannya. Akibatnya, banyak guru akhirnya memilih jalan pintas untuk naik pangkat dengan “menjahit” KTI ke orang lain.
Penulis belum tahu apakah pada mekanisme kenaikan pangkat otomatis khusus guru PNS juga berlaku empat tahun. Bila sama dengan PNS lain yaitu empat tahun baru bisa naik pangkat maka fungsi angka kredit bagi guru tidak lagi berperan penting dalam pembinaan karier kepangkatan dan jabatannya. Jika profesi guru masih ditetapkan sebagai jabatan fungsional dan jenjang pangkat dan jabatan berdasarkan jumlah angka kredit yang dimiliki untuk masing-masing jenjang jabatan maka akan menjadi bertentangan dengan sistem kenaikan pangkat otomatis.
Sistem kenaikan pangkat otomatis bagi guru PNS yang masih memberlakukan pengumpulan angka kredit logikanya tidak bisa disatukan karena dalam penilaian pangkat otomatis  seperti yang disampaikan oleh kepala BKN tanpa melalui pengusulan, setiap empat tahun seorang PNS dapat naik pangkat.  Sementara untuk guru masih harus mengumpulkan angka kredit sebagai prasarat kenaikannya. Dalam sistem kenaikan pangkat guru PNS yang lama, seorang guru PNS bisa mengajukan kenaikan pangkat ke jenjang yang lebih tinggi asalkan kumulatif angka kreditnya sudah memenuhi syarat untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi tanpa ada batasan tenggat waktu.
Akhirnya, kita berharap mekanisme baru kenaikan pangkat guru PNS tidak semakin mempersulit guru untuk menerima haknya naik pangkat. Bila akan diterapkan kenaikan pangkat otomatis jangan sampai guru terdiskriminasi. Bila PNS yang lain bisa naik pangkat otomatis, guru PNS juga harus memperoleh perlakuan yang sama. Jangan sampai kenaikan pangkat guru PNS masih harus dibebani “macam-macam” yang ujung-ujungnya harus memaksa guru berbuat curang karena tidak mampu memenuhi berbagai macam persyaratan lain untuk naik pangkat. Semoga !

06 Oktober 2014

Penghapusan Tinggal Kelas, Menurunkan Motivasi Belajar



            Kembali Kemdikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) menelurkan regulasi baru yang mengakibatkan kontroversi di lapangan (baca: sekolah), yakni penghapusan “tinggal kelas” di sekolah dasar (SD). Meski diyakini kebijakan tersebut lahir dari kajian yang dalam namun ada beberapa hal dalam kebijakan tersebut menjadi kontraproduktif terhadap upaya membangun dunia pendidikan yang berkualitas, bahkan memicu kontroversi. Hilangnya motivasi belajar peserta didik adalah contoh kecil hal akan muncul dari kebijakan penghapusan tinggal kelas.
            Pertanyaan-pertanyaan kecil juga akan muncul di lapangan  ketika aturan tinggal kelas dihapus, antara lain misalnya:  jika siswa kelas I SD belum bisa membaca dan menulis, apakah harus naik kelas juga? Apa gunanya mengukur keberhasilan siswa kalau pada akhirnya akan naik kelas semua? Bagaimana bisa anak yang belum menguasai pelajaran sebelumnya dapat menguasai pelajaran yang lebih sulit? Pertanyaan-pertanyaan itu mewakili ekspresi kebingungan di kalangan praktisi pendidikan di lapangan. Ada tugas yang belum selesai dari Kemdikbud, saat melahirkan sebuah kebijakan tanpa melakukan sebuah sosialisasi yang utuh, yakni menyamakan persepsi Kemdikbud dengan guru di lapangan. Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak akan muncul bila Kemdikbud telah melakukan sosialisasi secara utuh kepada pelaku pendidikan di lapangan.
            Ada niat  baik yang tersimpan dalam kebijakan penghapusan tinggal kelas di SD, karena “tinggal kelas” dianggap memiliki dampak psikologis yang kurang baik bagi anak yang mengalami, bahkan bisa membentuk anak menjadi takut gagal dan menilai belajar sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Sering, tidak naik kelas yang dialami anak SD menyebabkan si anak menjadi minder, dan akhirnya memilih pindah sekolah karena merasa malu dengan temannya.
            Tugas berat menunggu bagi guru jika kebijakan penghapusan tinggal kelas diterapkan, yaitu mengupayakan secara maksimal semua peserta didiknya agar mencapai ketuntasan minimal. Ketuntasan yang dicapai tidak hanya sekedar capaian angka secara tertulis, namun kemampuan riel. Guru harus melakukan pembelajaran remedial sampai tuntas bagi siswa yang  mengalami keterlambatan belajar. Kebijakan ini meniadakan heterogenitas alami dalam hal kecerdasan, bersandar pada asumsi semua peserta didik “pasti bisa” melewati standar ketuntasan minimal.  
            Asumsi semua peserta didik “pasti bisa” memang sulit kita temui dalam dunia nyata. Keragaman kemampuan peserta didik akan selalu ditemui guru di dalam kelas. Membuat semua peserta didik, khususnya yang berada di level kemampuan bawah, melewati batas prasyarat kemampuan minimal bukanlah pekerjaan ringan. Membiarkan peserta didik tanpa melalui proses pembelajaran yang intensif, kemudian membiarkannya naik ke kelas berikutnya akan menyebabkan peserta didik semakin sulit memahami pelajaran. Ada banyak mata pelajaran yang menuntut pengetahuan prasyarat yang diperoleh pada tingkatan kelas dibawahnya. Misalnya, peserta didik akan sulit mengikuti pelajaran di kelas II, jika seorang peserta didik belum mampu membaca, dimana kemampuan membaca harus dituntaskan ketika kelas I.
            Jika seorang peserta didik telah melakukan remedial berulang-ulang namun belum mampu mencapai ketuntasan minimal, apakah peserta didik ini tetap harus dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi? Kalau aturan tidak boleh ada peserta didik tinggal kelas tetap harus diterapkan maka konsekuensi lanjutannya akan ditanggung oleh peserta didik dan guru di kelas yang lebih tinggi. Peserta didik yang bersangkutan akan kesulitan mengikuti pelajaran pelajaran kelas yang lebih tinggi, karena pengetahun prasarat yang harus dimiliki belum dipenuhi. Demikian juga dengan sang guru, harus meluangkan waktu di luar jam pelajaran  reguler untuk mengulang pelajaran yang belum dikuasai. Dengan kata lain, seorang peserta didik yang sebenarnya belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal untuk naik kelas, maka dia harus diberlakukan naik bersyarat, bisa naik kelas tapi dengan syarat harus mengikuti program pelajaran tambahan.
            Penerapan kebijakan penghapusan tinggal kelas di SD menuntut konsistensi pemerintah dalam hal pembinaan guru. Efektivitas kegiatan pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan guru menciptakan kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Maksimal seorang guru menangani 20 peserta didik dalam kelas agar tercipta kegiatan pembelajaran yang efektif. Dalam penerapan kebijakan ini menuntut guru memahami secara mendalam karakter dan potensi peserta didik.
            Dampak kurang baik akan dirasakan oleh guru ketika berada di dalam kelas, bila kebijakan penghapusan tinggal kelas telah sampai di telinga siswa, maka mengakibatkan sebagian siswa akan kehilangan motivasi belajar karena dia paham bahwa tidak akan tinggal kelas meskipun malas belajar. Tugas guru adalah terus memompa motivasi belajar peserta didik agar tetap semangat belajar.
            Kebingungan guru dalam menerapkan aturan ditiadakannya tinggal kelas adalah sebuah kewajaran. Selama ini guru terbiasa dengan aturan lama, dan perlu beradaptasi dengan aturan baru tersebut. Jika aturan baru tersebut telah dikaji dampak positif dan negatifnya secara mendalam, yang diperlukan adalah mengkondisikan para guru dalam bentuk pelatihan agar memiliki kompetensi profesional untuk menerapkan aturan itu. Karena jika tidak, kebijakan tidak ada tinggal kelas di SD  akan  berdampak buruk bagi peserta didik. Mereka akan kehilangan motivasi belajar. Juga buat guru, jangan sampai menaikkan seluruh peserta didiknya padahal sebagian dari mereka ada yang belum memenuhi kriteria kenaikan kelas.  (Wahyudi Oetomo)

Belajar Calistung Seraya Bermain


            Saat kurikulum pendidikan sebuah lembaga pendidikan terlalu didikte oleh keinginan orang tua, sementara tuntatan dan keinginan orang tua bertentangan dengan konsep kurikulum baku yang terstandarisasi, maka lembaga pendidikan yang demikian tersebut telah menggadaikan  esensi pendidikan yang benar dengan “pemuasan” ambisi sebagian orang tua. Praktik penerapan materi membaca, menulis  dan berhitung (calistung) di Taman Kanak-kanak (TK) secara terstruktur dalam kurikulum pendidikannya adalah contoh bentuk pemaksaan lembaga pendidikan mengakomodasi ambisi orang tua meskipun lembaga pendidikan itu tahu bahwa penerapan Calistung di TK secara terstruktur tidak diperbolehkan.
            Mengacu pada surat edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 perihal penyelenggaraan pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, “ pengenalan membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung sebagai pembelajaran sendiri-sendiri (fragmented) kepada anak-anak. Konteks pembelajaran calistung di TK hendaknya dilakukan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan melalui pendekatan bermain, dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Menciptakan lingkungan yang kaya dengan “keaksaraan“ akan lebih mamacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan calistung.”
            Fakta empirik di lapangan, banyak sekolah TK menerapkan materi calistung melampui bingkai yang dibenarkan dalam mengenalkan calistung. Standar pengajaran calistung di TK yang hanya pengenalan banyak terdefiasi menjadi pembelajaran terstruktur. Tidak dapat dipungkiri banyak orang tua ketika menyekolahkan anaknya ke TK memiliki harapan anaknya segera bisa calistung, sebuah niat yang tidak sejalan dengan standard kurikulum yang baku. Anehnya, penyelenggara TK pun mengamini keinginan orang tua itu dan mengabaikan standard kurikulum yang seharusnya diterapkan dalam kurikulum TK.
            Mengajarkan calistung di TK, tidak salah, selama berada pada koridor pengenalan melalui pendekatan bermain dan disesuaikan dengan perkembangan anak. Membiarkan  anak fase praoperasional (2-6 tahun), belajar menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata melalui aktivitas bermain adalah pembelajaran yang sesuai dengan fase perkembangan kognitif anak TK.
            Memaksakan anak TK untuk belajar calistung secara terstruktur kita bisa analogikan dengan memaksa mangga yang dipetik sebelum matang kemudian kita karbit, pasti rasa mangga yang matang karena karbit dengan yang matang secara alami di pohon akan berbeda. Minimnya edukasi kepada orang tua tentang konsep pendidikan TK yang benar membuat kondisi salah kaprah ini akan terus terjadi. Sekolah TK “terpaksa” mengikuti selera orang tua karena mempertimbangkan nasib pengajar dan eksistensi lembaganya. Ketika sebuah  TK tidak memenuhi selera orang tua, maka TK tersebut akan ditinggalkan dan lama kelamaan TK tersebut akan tutup karena tidak memiliki murid.
            Keinginan orang tua terhadap kemampuan calistung anaknya di TK sering merupakan implikasi dari sebuah sistem kebijakan di sekolah dasar (SD). Meski dilarang, ada beberapa sekolah SD favorit menerapkan pola seleksi masuk dengan menitikberatkan kemampuan calistung pada calon peserta didiknya. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan surat edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah yang melarang adanya tes masuk bagi calon peserta didik di SD.
            Sebuah fakta yang memperjelas bahwa terjadinya penyimpangan pembelajaran calistung di TK tidak bisa berdiri sendiri namun adalah implikasi sistem pendidikan di atasnya (SD) adalah kasus dikeluarkannya delapan murid SD yang terletak di Kecamatan Cibalang Garut baru-baru ini karena tidak bisa membaca. Terus,  tugasnya guru SD itu apa?
            Mendikbud saat melakukan sosialisasi Kurikulum 2013 di depan sekitar 350 rektor, pejabat Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru se-Jawa Tengah, memerintahkan kepada Kepala Dinas Pendidikan untuk melarang sekolah dasar melakukan tes calistung atau membaca, menulis, dan berhitung saat masuk SD. Menurut Mendikbud, idealnya seorang siswa yang masuk SD baru bisa membaca, menulis, dan berhitung, bukan diajarkan saat taman kanak-kanak.  Mendikbud mengatakan taman kanak-kanak seharusnya diisi siswa untuk bersosialisasi, bukan untuk belajar calistung. "Taman kanak-kanak itu bukan sekolah. Sebab, yang namanya sekolah adalah dimulai dari SD, dan seterusnya," katanya. Oleh karena itu, kata M. Nuh (Mendikbud), untuk mengurangi beban siswa dalam melakukan belajar, sebaiknya di TK tidak diajarkan calistung, dan calistung diajarkan saat kelas 1 SD. "Dalam Kurikulum 2013 beban siswa dalam belajar justru akan menjadi ringan," katanya.
            Saat instruksi Menteri Pendidikan tidak lagi menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di lapangan, maka praksis pendidikan di negeri ini akan kacau. Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, acuan penyelenggaraan pendidikan menjadi diacuhkan. Sekali lagi, di TK hanya diperbolehkan pengenalan calistung, karena perkembangan kognitifnya hanya mampu sebatas itu, bukan pembelajaran calistung terstruktur. Bila dijumpai peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa karena memiliki kecerdasan lebih atau karena pengenalan lebih dini pembelajaran calistung oleh orang tua di rumah, dan jumlahnya mungkin  tidak banyak, tetap perlu ada perlakuan khusus. Anak-anak berkemampuan lebih tersebut memerlukan bimbingan terpisah agar pengenalan calistung bagi siswa yang lain tetap berjalan efektif.
            Kontradiksi pendapat tentang pengenalan calistung di TK mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi. Kita semua (Kemdikbud, TK dan orang tua) harus memegang teguh konsep pelaksanaan pendidikan di TK yang  menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Memaksakan anak belajar di luar kemampuan kognitifnya sama artinya memaksa mematangkan buah yang belum waktunya. Biarlah anak tumbuh secara alami sesuai tahapan fase perkembangan kognitifnya ! (Wahyudi Oetomo)

Pencabutan Keputusan Mendikbud Ristek Nomor 371/M/2021 tentang Program Sekolah Penggerak.

Nasib Program Sekolah Penggerak setelah pergantian Menteri Pendidikan dari Nadiem Anwar Makarim ke Abdul Mu'ti, terjawab sudah. Melalui ...