Oleh: Wahyudi Oetomo, S.Pd
Baru-baru ini dunia
pendidikan tinggi di Jawa Timur ditampar berita tak sedap saat Menristekdikti,
Muhammad Nasir, membekukan 3 Universitas di Jawa Timur terkait dengan pemalsuan
ijazah. Ketiga
perguruan tinggi yang dibekukan operasionalnya, yakni Universitas PGRI Jember,
Universitas Ronggolawe Tuban dan Universitas IKIP Budi Utomo di Malang. Sungguh
kabar yang mencoreng dunia pendidikan. Penulis khawatir, terungkapnya 3
perguruan tinggi di Jatim tersebut dalam kasus ijazah palsu hanyalah sebuah
fenomena gunung es, yang terlihat hanya permukaannya saja.
Harta,
kedudukan, dan prestise adalah godaan terbesar bagi pembeli ijazah palsu. Saat
perubahan status gelar diraih terbukti membawa implikasi peningkatan
pendapatan, kenaikan jabatan, atau sekedar prestise, membeli ijazah menjadi
pilihan instan untuk meraih semua impian itu. Hukum permintaan barang pun jadi
berlaku, “ada kebutuhan ada barang”.
Trend makanan cepat saji, ikut
merembet ke dunia pendidikan. Ijazah instan menggoda banyak orang untuk memperolehnya, meski dengan
resiko yang teramat berat bila terungkap. Waktu kuliah minimal empat tahun bagi
sebagian orang dianggap terlalu lama untuk meraih gelar sarjana. Bila ada
pilihan tanpa kuliah bisa mengantongi ijazah sarjana, mengapa harus kuliah
susah payah. Ditambah adanya keterlibatan perguruan tinggi dan oknum “dosen” atau
“mantan dosen” dalam jaringan jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah akan
memperbesar keyakinan para peminat ijazah palsu bahwa aksinya relatif aman.
Ketika ditanya siapa yang salah atas
maraknya kasus jual beli ijazah palsu di negeri ini, tentu saja yang paling
bersalah adalah “penjual” dan “pembeli” ijazah palsu. Penjual dan pembeli
ijazah palsu menjalin “simbiosis mutualisme haram” demi memenuhi kebutuhannya
masing-masing. Pemerintah turut andil salah dalam maraknya praktik jual beli ijazah palsu karena lemahnya kontrol
pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan sehingga praktik jual beli ijazah
palsu berlangsung bertahun-tahun tak terjamah hukum secara signifikan. Kita
perlu mengapresiasi langkah pemerintah melalui Menristekdikti yang bertekad
melakukan investigasi atas beredarnya ijazah palsu di Indonesia. Kita akan melihat
apakah gebrakan Menristekdikti
ini hanya “hangat-hangat tahi ayam” atau langkah serius menghilangkan praktik jual
beli ijazah dan pemalsuan ijazah.
Praktik jual beli ijazah dan
pemalsuan ijazah menurut pengamat LIPI telah lama terjadi dengan berbagai
modus. Menristekdikti menganggap masalah jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah
sudah menjadi isu nasional. Jika tengara bahwa jual beli ijazah dan pemalsuan
ijazah telah terjadi demikian massif dalam skala nasional, maka penanganannya
juga harus dilakukan secara massif dan cepat. Langkah Kemenristekdikti yang
akan melakukan pengecekan ijazah sejumlah dosen dan PNS di seluruh Indonesia
adalah langkah yang tepat. Melalui cara ini diharapkan terungkap ijazah-ijazah
palsu yang beredar di masyarakat. Dosen dan PNS yang terungkap menggunakan
ijazah palsu atau “aspal” (asli tapi palsu) harus diberikan sanksi pemecatan.
Selain
sanksi pemecatan, pelaku jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah harus berhadapan
dengan tuntutan hukum. Dalam pasal 263 KUHP pelaku pemalsuan ijazah diancam
dengan hukuman penjara selama enam tahun. Sedangkan dalam UU No.20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas pasal 67, pelaku pemalsuan ijazah diancam pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Jika langkah pemberantasan jual beli
ijazah dan pemalsuan ijazah palsu serius dilakukan Kemenristekdikti maka
penegakan hukumnya adalah wajib. Bila sanksi yang diberikan kepada pelaku jual
beli ijazah dan pemalsuan ijazah tidak memberikan efek jera karena hukum bisa
ditawar sehingga menghasilkan sanksi hukum yang ringan maka praktik jual beli
ijazah dan pemalsuan ijazah akan tetap subur di negeri ini.
Teknologi berkembang dengan sangat
cepat, begitu pula dalam dunia kejahatan. Teknologi pemalsuan berkembang
mengikuti kemajuan jaman. Duplikasi ijazah dari ijazah asli ke ijazah palsu
kian sempurna. Semakin amat sulit membedakan ijazah palsu dengan yang asli.
Namun, selalu saja ada jalan untuk membongkar sindikat pemalsuan ijazah. Ibarat
pepatah, “sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga”. Jika
secara fisik sangat sulit membedakan ijazah palsu dengan ijazah asli cara yang
paling ampuh adalah mencocokkan data ijazah dengan data base ijazah alumni perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah
tersebut.
Praktik
pemalsuan ijazah adalah pintu masuk rusaknya moral bangsa ini. Bayangkan, bila
semua elemen kehidupan bangsa ini ditempati oleh pelaku-pelaku pemalsuan
ijazah, maka rusaklah negeri ini. Berbagai jabatan dan pekerjaan di negeri ini
akan ditempati oleh orang-orang yang bukan ahlinya, karena mereka tidak
memiliki pengetahuan dan ilmu yang menjadi prasarat menduduki jabatan itu. Belum lagi, mental dasar dari pelaku
pemalsuan ijazah yang jauh dari karakter jujur, ini akan menjadi modal awal
untuk melakukan berbagai pelanggaran jabatan, termasuk korupsi.
Bila
pemalsuan ijazah di negeri ini tetap dibiarkan tumbuh subur, maka tunggulah
kehancuran negeri ini. Sanksi yang berat kepada pelaku penjual dan pembeli
ijazah harus diberikan jika ingin mengakhiri praktik jual beli ijazah dan
pemalsuan ijazah di negeri ini. Penegakan hukum yang tidak pandang bulu
diyakini sebagai cara ampuh memberantas jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah.
Mari membangun negeri ini dengan kejujuran !