06 Oktober 2014

Belajar Calistung Seraya Bermain


            Saat kurikulum pendidikan sebuah lembaga pendidikan terlalu didikte oleh keinginan orang tua, sementara tuntatan dan keinginan orang tua bertentangan dengan konsep kurikulum baku yang terstandarisasi, maka lembaga pendidikan yang demikian tersebut telah menggadaikan  esensi pendidikan yang benar dengan “pemuasan” ambisi sebagian orang tua. Praktik penerapan materi membaca, menulis  dan berhitung (calistung) di Taman Kanak-kanak (TK) secara terstruktur dalam kurikulum pendidikannya adalah contoh bentuk pemaksaan lembaga pendidikan mengakomodasi ambisi orang tua meskipun lembaga pendidikan itu tahu bahwa penerapan Calistung di TK secara terstruktur tidak diperbolehkan.
            Mengacu pada surat edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 perihal penyelenggaraan pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, “ pengenalan membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung sebagai pembelajaran sendiri-sendiri (fragmented) kepada anak-anak. Konteks pembelajaran calistung di TK hendaknya dilakukan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan melalui pendekatan bermain, dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Menciptakan lingkungan yang kaya dengan “keaksaraan“ akan lebih mamacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan calistung.”
            Fakta empirik di lapangan, banyak sekolah TK menerapkan materi calistung melampui bingkai yang dibenarkan dalam mengenalkan calistung. Standar pengajaran calistung di TK yang hanya pengenalan banyak terdefiasi menjadi pembelajaran terstruktur. Tidak dapat dipungkiri banyak orang tua ketika menyekolahkan anaknya ke TK memiliki harapan anaknya segera bisa calistung, sebuah niat yang tidak sejalan dengan standard kurikulum yang baku. Anehnya, penyelenggara TK pun mengamini keinginan orang tua itu dan mengabaikan standard kurikulum yang seharusnya diterapkan dalam kurikulum TK.
            Mengajarkan calistung di TK, tidak salah, selama berada pada koridor pengenalan melalui pendekatan bermain dan disesuaikan dengan perkembangan anak. Membiarkan  anak fase praoperasional (2-6 tahun), belajar menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata melalui aktivitas bermain adalah pembelajaran yang sesuai dengan fase perkembangan kognitif anak TK.
            Memaksakan anak TK untuk belajar calistung secara terstruktur kita bisa analogikan dengan memaksa mangga yang dipetik sebelum matang kemudian kita karbit, pasti rasa mangga yang matang karena karbit dengan yang matang secara alami di pohon akan berbeda. Minimnya edukasi kepada orang tua tentang konsep pendidikan TK yang benar membuat kondisi salah kaprah ini akan terus terjadi. Sekolah TK “terpaksa” mengikuti selera orang tua karena mempertimbangkan nasib pengajar dan eksistensi lembaganya. Ketika sebuah  TK tidak memenuhi selera orang tua, maka TK tersebut akan ditinggalkan dan lama kelamaan TK tersebut akan tutup karena tidak memiliki murid.
            Keinginan orang tua terhadap kemampuan calistung anaknya di TK sering merupakan implikasi dari sebuah sistem kebijakan di sekolah dasar (SD). Meski dilarang, ada beberapa sekolah SD favorit menerapkan pola seleksi masuk dengan menitikberatkan kemampuan calistung pada calon peserta didiknya. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan surat edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah yang melarang adanya tes masuk bagi calon peserta didik di SD.
            Sebuah fakta yang memperjelas bahwa terjadinya penyimpangan pembelajaran calistung di TK tidak bisa berdiri sendiri namun adalah implikasi sistem pendidikan di atasnya (SD) adalah kasus dikeluarkannya delapan murid SD yang terletak di Kecamatan Cibalang Garut baru-baru ini karena tidak bisa membaca. Terus,  tugasnya guru SD itu apa?
            Mendikbud saat melakukan sosialisasi Kurikulum 2013 di depan sekitar 350 rektor, pejabat Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru se-Jawa Tengah, memerintahkan kepada Kepala Dinas Pendidikan untuk melarang sekolah dasar melakukan tes calistung atau membaca, menulis, dan berhitung saat masuk SD. Menurut Mendikbud, idealnya seorang siswa yang masuk SD baru bisa membaca, menulis, dan berhitung, bukan diajarkan saat taman kanak-kanak.  Mendikbud mengatakan taman kanak-kanak seharusnya diisi siswa untuk bersosialisasi, bukan untuk belajar calistung. "Taman kanak-kanak itu bukan sekolah. Sebab, yang namanya sekolah adalah dimulai dari SD, dan seterusnya," katanya. Oleh karena itu, kata M. Nuh (Mendikbud), untuk mengurangi beban siswa dalam melakukan belajar, sebaiknya di TK tidak diajarkan calistung, dan calistung diajarkan saat kelas 1 SD. "Dalam Kurikulum 2013 beban siswa dalam belajar justru akan menjadi ringan," katanya.
            Saat instruksi Menteri Pendidikan tidak lagi menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di lapangan, maka praksis pendidikan di negeri ini akan kacau. Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, acuan penyelenggaraan pendidikan menjadi diacuhkan. Sekali lagi, di TK hanya diperbolehkan pengenalan calistung, karena perkembangan kognitifnya hanya mampu sebatas itu, bukan pembelajaran calistung terstruktur. Bila dijumpai peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa karena memiliki kecerdasan lebih atau karena pengenalan lebih dini pembelajaran calistung oleh orang tua di rumah, dan jumlahnya mungkin  tidak banyak, tetap perlu ada perlakuan khusus. Anak-anak berkemampuan lebih tersebut memerlukan bimbingan terpisah agar pengenalan calistung bagi siswa yang lain tetap berjalan efektif.
            Kontradiksi pendapat tentang pengenalan calistung di TK mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi. Kita semua (Kemdikbud, TK dan orang tua) harus memegang teguh konsep pelaksanaan pendidikan di TK yang  menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Memaksakan anak belajar di luar kemampuan kognitifnya sama artinya memaksa mematangkan buah yang belum waktunya. Biarlah anak tumbuh secara alami sesuai tahapan fase perkembangan kognitifnya ! (Wahyudi Oetomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pidato Mendikbudristek untuk upacara peringatan Hardiknas 2023.pdf

     Teks bisa di unduh disini