Kembali Kemdikbud (Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan) menelurkan regulasi baru yang mengakibatkan
kontroversi di lapangan (baca: sekolah), yakni penghapusan “tinggal kelas” di
sekolah dasar (SD). Meski diyakini kebijakan tersebut lahir dari kajian yang
dalam namun ada beberapa hal dalam kebijakan tersebut menjadi kontraproduktif
terhadap upaya membangun dunia pendidikan yang berkualitas, bahkan memicu
kontroversi. Hilangnya motivasi belajar peserta didik adalah contoh kecil hal
akan muncul dari kebijakan penghapusan tinggal kelas.
Pertanyaan-pertanyaan kecil juga
akan muncul di lapangan ketika aturan
tinggal kelas dihapus, antara lain misalnya: jika siswa kelas I SD belum bisa
membaca dan menulis, apakah harus naik kelas juga? Apa gunanya mengukur
keberhasilan siswa kalau pada akhirnya akan naik kelas semua? Bagaimana bisa
anak yang belum menguasai pelajaran sebelumnya dapat menguasai pelajaran yang
lebih sulit? Pertanyaan-pertanyaan itu mewakili ekspresi kebingungan di
kalangan praktisi pendidikan di lapangan. Ada tugas yang belum selesai dari
Kemdikbud, saat melahirkan sebuah kebijakan tanpa melakukan sebuah sosialisasi
yang utuh, yakni menyamakan persepsi Kemdikbud dengan guru di lapangan.
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak akan muncul bila Kemdikbud telah melakukan
sosialisasi secara utuh kepada pelaku pendidikan di lapangan.
Ada niat baik yang tersimpan dalam kebijakan
penghapusan tinggal kelas di SD, karena “tinggal kelas” dianggap memiliki
dampak psikologis yang kurang baik bagi anak yang mengalami, bahkan bisa
membentuk anak menjadi takut gagal dan menilai belajar sebagai sesuatu yang
tidak menyenangkan. Sering, tidak naik kelas yang dialami anak SD menyebabkan
si anak menjadi minder, dan akhirnya memilih pindah sekolah karena merasa malu
dengan temannya.
Tugas berat menunggu bagi guru jika
kebijakan penghapusan tinggal kelas diterapkan, yaitu mengupayakan secara
maksimal semua peserta didiknya agar mencapai ketuntasan minimal. Ketuntasan
yang dicapai tidak hanya sekedar capaian angka secara tertulis, namun kemampuan
riel. Guru harus melakukan pembelajaran remedial sampai tuntas bagi siswa yang mengalami keterlambatan belajar. Kebijakan ini
meniadakan heterogenitas alami dalam hal kecerdasan, bersandar pada asumsi
semua peserta didik “pasti bisa” melewati standar ketuntasan minimal.
Asumsi semua peserta didik “pasti
bisa” memang sulit kita temui dalam dunia nyata. Keragaman kemampuan peserta
didik akan selalu ditemui guru di dalam kelas. Membuat semua peserta didik,
khususnya yang berada di level kemampuan bawah, melewati batas prasyarat
kemampuan minimal bukanlah pekerjaan ringan. Membiarkan peserta didik tanpa
melalui proses pembelajaran yang intensif, kemudian membiarkannya naik ke kelas
berikutnya akan menyebabkan peserta didik semakin sulit memahami pelajaran. Ada
banyak mata pelajaran yang menuntut pengetahuan prasyarat yang diperoleh pada
tingkatan kelas dibawahnya. Misalnya, peserta didik akan sulit mengikuti
pelajaran di kelas II, jika seorang peserta didik belum mampu membaca, dimana
kemampuan membaca harus dituntaskan ketika kelas I.
Jika seorang peserta didik telah
melakukan remedial berulang-ulang namun belum mampu mencapai ketuntasan
minimal, apakah peserta didik ini tetap harus dinaikkan ke kelas yang lebih
tinggi? Kalau aturan tidak boleh ada peserta didik tinggal kelas tetap harus
diterapkan maka konsekuensi lanjutannya akan ditanggung oleh peserta didik dan
guru di kelas yang lebih tinggi. Peserta didik yang bersangkutan akan kesulitan
mengikuti pelajaran pelajaran kelas yang lebih tinggi, karena pengetahun
prasarat yang harus dimiliki belum dipenuhi. Demikian juga dengan sang guru,
harus meluangkan waktu di luar jam pelajaran reguler untuk mengulang pelajaran yang belum
dikuasai. Dengan kata lain, seorang peserta didik yang sebenarnya belum
memenuhi kriteria ketuntasan minimal untuk naik kelas, maka dia harus
diberlakukan naik bersyarat, bisa naik kelas tapi dengan syarat harus mengikuti
program pelajaran tambahan.
Penerapan kebijakan penghapusan
tinggal kelas di SD menuntut konsistensi pemerintah dalam hal pembinaan guru.
Efektivitas kegiatan pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan guru
menciptakan kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Maksimal seorang guru menangani 20 peserta didik dalam kelas agar
tercipta kegiatan pembelajaran yang efektif. Dalam penerapan kebijakan ini
menuntut guru memahami secara mendalam karakter dan potensi peserta didik.
Dampak kurang baik akan dirasakan
oleh guru ketika berada di dalam kelas, bila kebijakan penghapusan tinggal
kelas telah sampai di telinga siswa, maka mengakibatkan sebagian siswa akan
kehilangan motivasi belajar karena dia paham bahwa tidak akan tinggal kelas
meskipun malas belajar. Tugas guru adalah terus memompa motivasi belajar
peserta didik agar tetap semangat belajar.
Kebingungan guru dalam menerapkan aturan ditiadakannya
tinggal kelas adalah sebuah kewajaran. Selama ini guru terbiasa dengan aturan
lama, dan perlu beradaptasi dengan aturan baru tersebut. Jika aturan baru
tersebut telah dikaji dampak positif dan negatifnya secara mendalam, yang
diperlukan adalah mengkondisikan para guru dalam bentuk pelatihan agar memiliki
kompetensi profesional untuk menerapkan aturan itu. Karena jika tidak,
kebijakan tidak ada tinggal kelas di SD
akan berdampak buruk bagi peserta
didik. Mereka akan kehilangan motivasi belajar. Juga buat guru, jangan sampai
menaikkan seluruh peserta didiknya padahal sebagian dari mereka ada yang belum
memenuhi kriteria kenaikan kelas. (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar