09 September 2015

JUAL BELI IJAZAH DAN PEMALSUAN IJAZAH PALSU, PINTU MASUK RUSAKNYA MORAL BANGSA


      Oleh: Wahyudi Oetomo, S.Pd
          Baru-baru ini dunia pendidikan tinggi di Jawa Timur ditampar berita tak sedap saat Menristekdikti, Muhammad Nasir, membekukan 3 Universitas di Jawa Timur terkait dengan pemalsuan ijazah. Ketiga perguruan tinggi yang dibekukan operasionalnya, yakni Universitas PGRI Jember, Universitas Ronggolawe Tuban dan Universitas IKIP Budi Utomo di Malang. Sungguh kabar yang mencoreng dunia pendidikan. Penulis khawatir, terungkapnya 3 perguruan tinggi di Jatim tersebut dalam kasus ijazah palsu hanyalah sebuah fenomena gunung es, yang terlihat hanya permukaannya saja.
            Harta, kedudukan, dan prestise adalah godaan terbesar bagi pembeli ijazah palsu. Saat perubahan status gelar diraih terbukti membawa implikasi peningkatan pendapatan, kenaikan jabatan, atau sekedar prestise, membeli ijazah menjadi pilihan instan untuk meraih semua impian itu. Hukum permintaan barang pun jadi berlaku, “ada kebutuhan ada barang”. 
            Trend makanan cepat saji, ikut merembet ke dunia pendidikan. Ijazah instan menggoda banyak  orang untuk memperolehnya, meski dengan resiko yang teramat berat bila terungkap. Waktu kuliah minimal empat tahun bagi sebagian orang dianggap terlalu lama untuk meraih gelar sarjana. Bila ada pilihan tanpa kuliah bisa mengantongi ijazah sarjana, mengapa harus kuliah susah payah. Ditambah adanya keterlibatan perguruan tinggi dan oknum “dosen” atau “mantan dosen” dalam jaringan jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah akan memperbesar keyakinan para peminat ijazah palsu bahwa aksinya  relatif aman.
            Ketika ditanya siapa yang salah atas maraknya kasus jual beli ijazah palsu di negeri ini, tentu saja yang paling bersalah adalah “penjual” dan “pembeli” ijazah palsu. Penjual dan pembeli ijazah palsu menjalin “simbiosis mutualisme haram” demi memenuhi kebutuhannya masing-masing. Pemerintah turut andil salah dalam maraknya praktik jual beli  ijazah palsu karena lemahnya kontrol pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan sehingga praktik jual beli ijazah palsu berlangsung bertahun-tahun tak terjamah hukum secara signifikan. Kita perlu mengapresiasi langkah pemerintah melalui Menristekdikti yang bertekad melakukan investigasi atas beredarnya ijazah palsu di Indonesia. Kita akan melihat apakah gebrakan  Menristekdikti ini hanya “hangat-hangat tahi ayam” atau langkah serius menghilangkan praktik jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah.
            Praktik jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah menurut pengamat LIPI telah lama terjadi dengan berbagai modus. Menristekdikti menganggap masalah jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah sudah menjadi isu nasional. Jika tengara bahwa jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah telah terjadi demikian massif dalam skala nasional, maka penanganannya juga harus dilakukan secara massif dan cepat. Langkah Kemenristekdikti yang akan melakukan pengecekan ijazah sejumlah dosen dan PNS di seluruh Indonesia adalah langkah yang tepat. Melalui cara ini diharapkan terungkap ijazah-ijazah palsu yang beredar di masyarakat. Dosen dan PNS yang terungkap menggunakan ijazah palsu atau “aspal” (asli tapi palsu) harus diberikan sanksi pemecatan.
Selain sanksi pemecatan, pelaku jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah harus berhadapan dengan tuntutan hukum. Dalam pasal 263 KUHP pelaku pemalsuan ijazah diancam dengan hukuman penjara selama enam tahun. Sedangkan dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 67, pelaku pemalsuan ijazah diancam pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Jika langkah pemberantasan jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah palsu serius dilakukan Kemenristekdikti maka penegakan hukumnya adalah wajib. Bila sanksi yang diberikan kepada pelaku jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah tidak memberikan efek jera karena hukum bisa ditawar sehingga menghasilkan sanksi hukum yang ringan maka praktik jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah akan tetap subur di negeri ini.
            Teknologi berkembang dengan sangat cepat, begitu pula dalam dunia kejahatan. Teknologi pemalsuan berkembang mengikuti kemajuan jaman. Duplikasi ijazah dari ijazah asli ke ijazah palsu kian sempurna. Semakin amat sulit membedakan ijazah palsu dengan yang asli. Namun, selalu saja ada jalan untuk membongkar sindikat pemalsuan ijazah. Ibarat pepatah, “sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga”. Jika secara fisik sangat sulit membedakan ijazah palsu dengan ijazah asli cara yang paling ampuh adalah mencocokkan data ijazah dengan data base ijazah alumni perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah tersebut.
Praktik pemalsuan ijazah adalah pintu masuk rusaknya moral bangsa ini. Bayangkan, bila semua elemen kehidupan bangsa ini ditempati oleh pelaku-pelaku pemalsuan ijazah, maka rusaklah negeri ini. Berbagai jabatan dan pekerjaan di negeri ini akan ditempati oleh orang-orang yang bukan ahlinya, karena mereka tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang menjadi prasarat menduduki jabatan itu.  Belum lagi, mental dasar dari pelaku pemalsuan ijazah yang jauh dari karakter jujur, ini akan menjadi modal awal untuk melakukan berbagai pelanggaran jabatan, termasuk korupsi.
Bila pemalsuan ijazah di negeri ini tetap dibiarkan tumbuh subur, maka tunggulah kehancuran negeri ini. Sanksi yang berat kepada pelaku penjual dan pembeli ijazah harus diberikan jika ingin mengakhiri praktik jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah di negeri ini. Penegakan hukum yang tidak pandang bulu diyakini sebagai cara ampuh memberantas jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah. Mari membangun negeri ini dengan kejujuran !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pidato Mendikbudristek untuk upacara peringatan Hardiknas 2023.pdf

     Teks bisa di unduh disini