06 Mei 2010

URGENSI PENDIDIKAN LIFE SKILL


Wahyudi Oetomo, SPd.
Guru SMP Negeri 1 Kamal Bangkalan


Pendidikan kecakapan hidup (life skill) mencakup kecakapan personal, sosial, akademik, dan vokasional. Namun, kecakapan hidup sering maknanya hanya disempitkan pada kecakapan vokasional, yakni kecakapan mencari pekerjaan, atau menciptakan lapangan pekerjaan. Pendidikan kecakapan hidup yang difokuskan pada kecakapan vokasional hanya tepat diberikan di sekolah kejuruan. Sedangkan pendidikan kecakapan hidup yang komplit, yang mencakup keempat kecakapan hidup, harus diberikan di semua jenjang pendidikan nasional,

Ada keprihatinan yang dalam terhadap berbagai fakta empirik yang tersaji di hadapan kita berupa kegagalan praksis pendidikan dengan melihat berbagai indikator yang kasat mata. Misalnya, budi pekerti pelajar kian menurun, perkelahian pelajar, praktik pornografi di sekolah, praktik kekerasan siswa senior kepada yuniornya, tingginya angka pengangguran, atau rendahnya mutu siswa negeri ini dalam komparasi internasional.

Pada tahun 2002 Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan konsep pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup (PKBH). Dalam konsep PKBH proses pendidikan harus membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yaitu keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya.

Ada idealisme yang sama pada berbagai konsep pendidikan nasional, termasuk pada konsep pendidikan kecakapan hidup, yakni bahwa pendidikan mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa, dan pendidikan harus mendasarkan pada kebutuhan masyarakat yang luas. Meski konsep pendidikan kecakapan hidup telah lama diluncurkan oleh pemerintah, namun belum terasa gregetnya. Konsep PKBH menjadi “mandul” karena kurangnya sosialisasi konsep itu kepada praktisi pendidikan, khususnya guru. Sehingga ada missing link (rantai hilang) antara konsep dan tataran praktis.

Konsep pendidikan kecakapan hidup, tidak harus mengubah kurikulum pendidikan yang ada. Atau, pendidikan kecakapan hidup tidak perlu menjadi sebuah mata pelajaran tersendiri. Konsep pendidikan hidup harus terintegrasi secara ajeg (kontinyu) kepada semua mata pelajaran yang ada. Masalahnya, banyak guru yang masih belum paham harus mengintegrasikan “apa” ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya. Perlu ada sosialisasi yang cukup kepada guru mata pelajaran untuk selalu memunculkan konsep pendidikan kecakapan hidup pada mata pelajaran yang diajarkannya.

Sebenarnya, bila kita sebagai guru telah membiasakan diri menggunakan pendekatan belajar mengajar kontekstual, telah memunculkan aspek pendidikan kecakapan hidup. Karena aplikasi pendidikan kecakapan hidup pada dasarnya adalah bagaimana kita mampu mengkaitkan problema kehidupan nyata di masyarakat dan pemecahan ke dalam materi pelajaran. Kecakapan personal dan sosial dapat dibangun di mata pelajaran apa pun. Pembelajaran kooperatif dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan kecakapan personal dan sosial.

Dalam pembelajaran kooperatif (berkelompok) kecakapan personal dan sosial dapat ditumbuhkan secara optimal. Kelompok sebagai ciri khas pembelajaran kooperatif dapat dianalogikan sebagi miniatur masyarakat. Peserta didik akan berlatih mengatur egonya agar dia dapat selalu diterima di dalam kelompoknya. Peserta didik juga dilatih bagaimana caranya menghormati pendapat orang lain, menghargai perbedaan pendapat, bekerjasama, dan berkomunikasi.

Selama ini guru hanya memfokuskan kegiatan pembelajaran untuk mengasah kecakapan akademik. Padahal, peserta didik tidak cukup hanya pandai (cakap akademis), namun ketika di luar sekolah peserta didik juga harus memiliki kecakapan personal, sosial dan vokasional.

Kecakapan vokasional, sebagai bagian dari kecakapan hidup, dikembangkan secara intens di sekolah kejuruan. Di jenjang SMP dan SMA, kecakapan vokasional juga disisipkan meski dalam porsi yang sangat kecil melalui pendidikan ketrampilan. Ketika bicara kecakapan vokasional, mestinya kita merujuk pada konsep lama yang pernah disampaikan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebuadayaan kita, Prof. Wardiman Djojonegoro, yakni konsep link and match (keterkaitan dan kesesuaian) antara dunia sekolah dan dunia industri. Masih dalam jumlah yang sangat besar lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini, khususnya SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang mengalami kesenjangan antara lulusan dan kebutuhan dunia kerja, Ada temuan bahwa banyak lulusan SMK yang tidak terserap di dunia kerja.

SMK sebagai sekolah yang dikhususkan untuk menumbuhkan kecakapan vokasional, sudah saatnya untuk ditingkatkan kualitas pengelolaannya, sehingga tumbuh menjadi sekolah yang menjembatani dunia kerja dengan dunia pendidikan. Saat Pemerintah terus berusaha menyeimbangkan rasio SMA dengan SMK, mestinya SMK tidak hanya dikembangkan kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya.

Konsep pendidikan kecakapan hidup bila diterapkan secara konsisten oleh guru dalam kegiatan pembelajarannya diharapkan dunia pendidikan akan menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan personal, sosial, akademik, dan vokasional. Lulusan yang tidak hanya cerdas, namun matang secara emosional, dapat menempatkan dirinya di berbagai keadaan, dapat memecahkan persoalan pribadi dan sosial, dan mampu memasuki dunia kerja.

Akhirnya, implementasi pendidikan kecakapan hidup tak cukup hanya dengan himbauan, namun perlu dipraktikkan. Perlu ada kegiatan sosialisasi kepada guru melalui workshop, seminar, MGMP, atau forum sejenis. Memang, perlu biaya, namun bila hasilnya memiliki nilai yang jauh lebih besar dari investasi biaya yang dikeluarkan, mengapa tidak dilaksanakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pidato Mendikbudristek untuk upacara peringatan Hardiknas 2023.pdf

     Teks bisa di unduh disini