Oleh: Wahyudi Oetomo
Kekerasan seksual
apapun dalihnya, dimanapun tempatnya pantas kita kutuk. Apalagi korbannya
adalah anak-anak. Kekerasan seksual pada anak yang menimpa beberapa siswa Taman
Kanak-kanak Jakarta International School
(JIS) sontak menjadi pembicaraan secara nasional dan membangkitkan emosi banyak
orang tua di negeri ini. Dan yang memukul emosi kita adalah kejadian terkutuk
itu terjadi di sekolah, tempat yang mestinya menjadi area paling aman untuk
menumbuhkembangkan budi pekerti luhur. Ironisnya lagi, sekolah tempat kejadian
itu berlebel internasional namun tidak memiliki izin operasional.
Keputusan Kemendikbud untuk menutup
TK JIS, adalah langkah tepat meski banyak orang menganggap Kemendikbud telah
“kecolongan” mengenai keberadaan izin operasionalnya. Namun, Kemendikbud
melalui Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUDNI)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Lydia Freyani Hawadi membantah Kemendikbud “kecolongan”, menurutnya
JIS berpegang pada SKB 3 menteri sehingga mereka berpersepsi tak perlu izin TK.
Kemendikbud memiliki kewajiban untuk
memverifikasi sekolah-sekolah yang berlebel internasional untuk memastikan izin
operasionalnya serta komitmen sekolah tersebut untuk memberikan lingkungan yang
aman bagi berkembangnya anak. Lembaga pendidikan apapun lebelnya memiliki
kewajiban yang sama, yakni mencegah terjadinya praktik kekerasan seksual pada
anak. Pembiaran terhadap tindak kekerasan seksual pada anak oleh lembaga pendidikan adalah
kriminalitas yang tidak boleh ditolerir dalam dunia pendidikan. Semua elemen
dalam lembaga pendidikan mulai dari kepala sekolah hingga cleaning servive harus diisi oleh orang-orang baik. Orang-orang
yang memiliki perilaku penyimpangan seksual tidak boleh berada di lingkungan
sekolah, untuk itu lembaga pendidikan, khususnya TK harus merekrut secara ketat
semua jenis posisi pekerjaan dalam lingkungan sekolah.
Siapapun pelaku kekerasan seksual
pada anak harus mendapat hukuman yang berat. Banyak wacana yang muncul jenis
hukuman apa yang pantas diberikan kepada pelaku kekerasan seksual pada anak.
Ada yang mengusulkan hukuman mati, hukuman kebiri, hingga hukuman seumur hidup.
Hukuman bagi pelaku kejahatan seksual anak saat ini dinilai oleh sebagian
masyarakat terlalu ringan. Hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual pada
anak-anak yang diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yaitu minimal tiga tahun, dan maksimal 15 tahun penjara. Revisi terhadap Undang
–Undang ini perlu dilakukan agar memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan
seksual pada anak.
Kita semua pantas ikut prihatin
kepada semua orang tua korban kekerasan seksual di JIS, dan berharap pengalaman
buruk yang menimpa anak-anak mereka tak terulang kembali di kemudian hari dan
berharap para pelaku mendapat hukuman yang seberat-beratnya. Ada tugas yang
berat bagi orang tua korban kekerasan seksual anak di mana saja, termasuk di TK
JIS. Tugas terberat adalah menyembuhkan
trauma psikis yang dialami oleh sang anak. Bila orang tua tidak mampu menangani
sendiri, orang tua harus meminta bantuan orang-orang terdekat atau psikolog
untuk menyembuhkan trauma korban kekerasan seksual pada anak.
Jika trauma yang ditimbulkan akibat
kekerasan seksual pada anak tidak segera dipulihkan maka kemungkinan akan
muncul beberapa dampak dalam kehidupan anak, antara lain munculnya trauma
berkepanjangan, si korban akan mengalami masalah hubungan dengan lawan jenis,
atau bahkan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa akan
membentuk anak menjadi pedophilia. Masa depan korban kekerasan seksual sangat
bergantung dari upaya pemulihan untuk mengembalikan korban ke keadaan sebelum
kejadian.
Upaya
lain yang mungkin bisa ditempuh untuk memulihkan korban kekerasan seksual anak
yakni dengan metode hipnoterapi. Andreas Pasolympia, seorang pakar di bidang
komunikasi, hipnoterapi, dan pengembangan diri, dari Sang Pemenang (Lembaga
Konsultasi Pengembangan Diri), mengungkapkan, bahwa hipnoterapi dapat
memulihkan gangguan psikologis yang dialami oleh anak akibat tindak kekerasan
dan pelecehan seksual. Caranya tentu berbeda seperti hipnotis yang kita lihat
di tayangan televisi. Hipnoterapi pada anak dapat dilakukan melalui cerita atau
imajinasi, sehingga anak tidak dipaksa untuk diam dan tidur kemudian baru
diberikan sugesti-sugesti. Selain itu, pada dasarnya sifat seorang anak memang
aktif dan senang untuk bermain. Ketika sang anak diajak untuk bercerita, maka
dia akan masuk dalam kondisi hipnosis dengan sendirinya. Pada tahap inilah
seorang terapis akan memberikan kerangka pikir pemulihan, melakukan netralisasi
makna dari kejadian yang telah dialami, kemudian memberikan penguatan.
Tugas kita selanjutnya adalah
bagaimana mencegah tindakan kekerasan seksual pada anak-anak. Upaya preventif
yang bisa dilakukan antara lain dengan membuat perangkat Undang-Undang yang
memuat sangsi berat bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Usulan hukuman
kebiri hingga hukuman mati mengemuka dalam berbagai perbincangan. Hukuman mati
bagi pelaku kekerasan seksual pada anak-anak rasanya hukuman yang pantas. Karena
saat seorang anak menjadi pelaku kekerasan seksual maka efeknya dapat “merusak”
si anak dalam waktu jangka panjang. Jika korban tidak ditangani secara tuntas,
masa depan si korban akan kelam, dia akan menjadi pendendam, memiliki
permasalahan hubungan dengan lawan jenis, bahkan bisa menjadi seorang pedophilia.
Wacana memberikan pendidikan seks
sejak usia dini (Sekolah Dasar), adalah alternatif lain yang bisa dicoba untuk
mengantisipasi kekerasan seksual pada anak.
Pengenalan tentang seks pada anak SD bisa dalam kemasan terintegrasi
dalam mata pelajaran yang sudah ada. Pengenalan seks pada anak harus dikemas
secara edukatif, sederhana, dan mudah dipahami. Dalam pengenalan seks pada
anak, juga harus diajarkan bagaimana menghindari tindak kekerasan seksual pada
anak.
Untuk
menghindari korban kekerasan seksual pada anak berkepanjangan, maka orang tua
harus peka terhadap perubahan-perubahan perilaku pada anaknya, yang bisa jadi
perubahan perilaku itu mengarah kepada ciri-ciri korban kekerasan seksual anak.
Menurut parentsprotect.co.uk, inilah ciri-ciri anak yang menjadi korban
pelecehan seksual : menirukan tindakan seksual yang tidak pantas dengan mainan
atau benda lainnya, mimpi buruk, sulit tidur dan mengigau saat tidur, sering
mengasingkan diri dan tampak lebih murung, tidak lagi menceritakan kegiatannya
pada orang tua dan jadi pendiam, sering merasa tidak aman, tiba-tiba menjadi
pemberontak atau justru penuh rahasia, kemunduran perilaku di usianya, misalnya
mengompol, takut dengan orang yang memiliki ciri tertentu (biasanya yang mirip
pelaku), takut dan trauma dengan barang tertentu (biasanya berhubungan dengan
proses pelecehan yang dialami), perubahan selera makan, memiliki kosakata
seksual yang vulgar, dan sengaja membahayakan diri (melukai diri sendiri,
membakar atau kegiatan yang membahayakan nyawanya).
Melindungi
anak-anak kita dari korban kekerasan seksual berarti melindungi masa depannya,
agar tumbuh menjadi pribadi yang sehat dalam suasana yang nyaman. Dan itu tugas
semua pihak: orang tua, guru (sekolah),
orang-orang terdekat, dan juga pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar