Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Konsultasi Risiko Politik dan
Ekonomi (Political and Economic Risk
Consultancy -- PERC) yang dilansir oleh agen berita Perancis AFP, dari
skala 0 sampai 10, dimana 0 adalah indikasi bebas korupsi, Indonesia
mendapatkan skor 8,32. Riset yang dilakukan pada Maret 2009 itu menempatkan
Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Wow, sungguh mengerikan !
Fakta kronisnya patologi
korupsi di negeri ini sungguh memprihatinkan sekaligus menyedihkan. Korupsi
telah terjadi di semua lini kehidupan bangsa ini. Penyakit korupsi yang melanda
negeri ini berada pada stadium tertinggi, yang dapat menyebabkan negeri ini
kehilangan “nyawa”. Korupsi telah berurat dan berakar seperti kanker kronis
yang sulit diberantas.
Gagasan memasukkan
pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan nasional adalah bagian
dari upaya sinergis untuk memberantas korupsi di samping melalui pintu lain.
Penanaman nilai-nilai antikorupsi selama ini yang termuat dalam beberapa
matapelajaran secara integratif, misalnya dalam pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia telah gagal membentuk manusia Indonesia
yang antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi
diasumsikan oleh penggagasnya dapat menanamkan nilai-nilai kejujuran dan
kesederhanaan, yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia Indonesia yang
antikorupsi. Pembentukan kesadaran bagi peserta didik sehingga mampu membentuk
karakter dan kemudian melakukan aksi melawan korupsi, adalah tujuan
dimasukkannya pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
Sebenarnya, penanaman
nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan telah terintegrasi sejak lama.
Dalam kurikulum pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan (dulu,
Pendidikan Moral Pancasila –PMP) substansi pendidikan antikorupsi telah
terintegrasi meski tidak secara eksplisit diberi nama pendidikan antikorupsi.
Namun, harus kita akui bahwa penanaman nilai antikorupsi model integrasi selama
ini tidak cukup ampuh menciptakan out put sumber daya manusia (SDM) yang jujur dan antikorupsi.
Kegagalan pendidikan
agama dan pendidikan kewarganegaraan dalam membangun nilai kejujuran, dan anti
korupsi terletak pada bangun pendidikan nasional kita yang hingga kini lebih
menekankan pada aspek kognitif serta meminimalisir aspek psikomotor dan
afektif. Peserta didik terlalu banyak dijejali dengan konsep-konsep teoritis
dan jarang diajak untuk berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan nilai-nilai yang
bersifat aplikatif. Kegagalan yang sama akan terjadi bila pendidikan anti
korupsi ini masuk ke kurikulum pendidikan nasional dengan pola pendekatan yang
sama dengan pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan,
Menjadikan pendidikan
antikorupsi sebagai satu mata pelajaran sendiri, tidak sekedar terintegrasi
dengan mata pelajaran lain yang relevan akan menyebabkan kurikulum pendidikan
kita akan menjadi kembali over loud,
kelebihan muatan. Kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP), yang dipandang oleh sebagian pengamat pendidikan
masih terlalu padat, akan semakin padat bila pendidikan antikorupsi ini menjadi
sebuah mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah.
Optimalisasi penanaman
nilai-nilai antikorupsi pada mata pelajaran yang relevan tanpa harus melalui
sebuah mata pelajaran khusus harus dilakukan secara intens. Pendidikan nilai
lebih membutuhkan aplikasi daripada sekedar teori. Penanaman nilai pada
beberapa mata pelajaran yang selama ini lebih menekankan aspek kognitif, telah
melahirkan banyak koruptor, dari kelas teri sampai kelas paus. Potret
kebangkrutan banyak “kantin kejujuran” di banyak sekolah adalah gambaran utuh
kegagalan penanaman nilai-nilai kejujuran.
Pendidikan antikorupsi
tidak perlu banyak teori. Penanaman nilai-nilai kejujuran lebih banyak
membutuhkan praktik, dan guru adalah model terdepan dalam memberikan tauladan
menerapkan nilai-nilai kejujuran. Sering, kita sebagai guru, tanpa disadari
melakukan korupsi kecil-kecilan, misalnya korupsi waktu. Seorang guru yang
sering terlambat masuk kelas akan menanamkan pemahaman dalam diri anak bahwa
korupsi waktu adalah sesuatu yang diperbolehkan.
Konsep learning to do, dalam penanaman nilai
apapun akan lebih efektif dari pada sekedar penyampaian verbal, kata-kata tanpa
disertai aplikasi nilai dalam kehidupan nyata. Saat seorang guru menyampaikan
bahwa korupsi itu dilarang oleh agama dan melanggar hukum, peserta didik harus
ditunjukkan tauladan tidak korupsi itu seperti apa. Guru selalu masuk kelas
dengan tepat waktu adalah contoh kecil tindakan antikorupsi. Guru harus
melakukan penegakan hukum dalam konteks pembelajaran di kelas saat menjumpai
seorang peserta didik berbuat tidak jujur saat ulangan. Anak disadarkan bahwa
berbuat tidak jujur (termasuk korupsi) akan memperoleh hukuman balasan terhadap
tindakan itu (punishment).
Saat pendidikan antikorupsi
menjadi bagian dari kurikulum, entah terintegrasi dengan mata pelajaran yang
ada atau berdiri sebagai mata pelajaran, membawa konsekuensi adanya konsistensi
antara kajian teoritis dan implementasi nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi
dalam kehidupan sekolah, rumah tangga dan masyarakat. Jangan sampai guru
menanamkan nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi, namun di sekolah
dipertontonkan perbuatan yang tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran.
Misalnya, saat Ujian Nasional (Unas), sekolah melalui guru mempertunjukkan sikap
yang tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran dengan memberikan bocoran jawaban
kepada siswa.
Jika nilai-nilai
kejujuran telah disimpan dalam peti besi, dan sekolah merestui praktik
kecurangan, maka penanaman nilai-nilai kejujuran yang dikemas dalam bentuk
apapun akan kurang bermakna. Ambivalensi (sikap mendua) antara keinginan
menanamkan nilai-nilai kejujuran (antikorupsi) dan tumbuhnya sikap permissif
terhadap kecurangan di dalam sekolah akan menyebabkan peserta didik menjadi
bingung. Akhirnya, peserta didik akan memilih sesuai pilihan hatinya, meski
sering pilihan itu hasil bujuk rayuan setan untuk menggelincirkan manusia ke
jurang kenistaan.
Pendidikan antikorupsi,
akan bernasib sama dengan pendidikan moral Pancasila dan pendidikan agama jika dilaksanakan dengan
pola pendekatan yang sama, dikuasai konsep dan teorinya namun tidak pernah
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan penanaman nilai-nilai dalam
kurikulum pendidikan nasional terletak pada terlalu besarnya porsi pengembangan ranah kognitif
dibandingkan dengan ranah psikomotor dan afektif. Evaluasi hasil belajar saat
ini lebih banyak digunakan untuk mengukur ranah kognitif.
Setelah berbagai cara
dilakukan untuk memberantas korupsi di negeri ini, namun indeks korupsi di
negeri ini tidak pernah menurun, lalu dunia pendidikan digadang-gadang dapat
menurunkan angka korupsi secara efektif
melalui kurikulum antikorupsi. Optimisme harus tetap ditanamkan kepada
setiap usaha yang dapat membangkitkan negeri ini dari keterpurukan, termasuk
memberantas korupsi. Bila usaha-usaha untuk memberantas korupsi selalu
dilemahkan, tunggulah kehancuran negeri ini.
Akhirnya, kita semua
berharap pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan nasional dapat
memberikan kontribusi positif untuk membangun sebuah peradaban baru di negeri
ini, negeri yang bebas korupsi. Semoga.
pendidikan antikorupsi penting dilakukan disetiap sekolah sebagai edukasi untuk membangun moral anak. dari kecil anak patutnya diajarkan hal ini, diberi pengertian agar nantinya anak mengetahui sisi buruk dari korupsi
BalasHapus