04 Mei 2013

Meningkatkan Mutu Pendidikan Nasional Tanpa RSBI



            Keputusan penghapusan  Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pasti akan menimbulkan pro dan kontra, tergantung siapa yang memandangnya. Bagi sekolah penyelenggara RSBI,  pasti hati nuraninya menentang keputusan itu, sebatas menentang di dalam hati karena jika menentang secara fisik pasti tidak akan dilakukan karena khawatir dianggap tidak taat hukum. Penyelenggara RSBI terlanjur berada di zona nyaman dalam waktu yang relatif panjang, terutama fasilitas dan pendanaan, sehingga kabar dikabulkannya tuntutan penghapusan RSBI oleh MK membuat kecewa banyak sekolah penyandang lebel RSBI. Sementara itu, mereka yang dari awal menentang keberadaan SBI/RSBI menyambut gembira putusan MK tersebut.
            Saat pemerintah pada tahun 2011 mengumumkan bahwa pemerintah menghentikan pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010 memberikan sinyal kepada masyarakat dan pemerhati pendidikan waktu itu bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan RSBI. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menemukan penyimpangan penggunaan anggaran oleh Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Bahkan, 50 persen anggaran di RSBI telah disalahgunakan (Okezone.com/14/3/2011).
Penghapusan RSBI tidak akan mempengaruhi upaya pemerintah untuk meningkat kualitas pendidikan nasional, karena sebagian besar sekolah-sekolah yang berlebel RSBI sudah sejak awal merupakan sekolah-sekolah unggulan di daerahnya masing-masing. Rasanya terlalu berlebihan bila ada yang berpendapat bahwa jika RSBI dihapus kualitas pendidikan akan menurun secara signifikan.
Negeri ini memerlukan sekolah yang berkualitas bagus dan setara dengan negara lain, sehingga tidak perlu ada lagi orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya ke Malaysia hanya karena menganggap sekolah di Indonesia tidak ada yang berkualitas. Jika pengelolaan sekolah dengan model RSBI ternyata dianggap telah gagal meningkatkan kualitas pendidikan terutama aspek pemerataan pendidikan, harus dicari model baru sistem sekolah yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan pada skala internasional dan tidak melanggar undang-undang. Perlu kajian yang dalam sebelum mewujudkan keinginan menciptakan sekolah berbasis pada penyelenggaran pendidikan bermutu  internasional sehingga tidak terulang kembali seperti kasus penghapusan RSBI.
Ada kekhawatiran sekolah-sekolah negeri eks RSBI/SBI akan kalah bersaing dengan sekolah swasta yang menerapkan sekolah berstandar internasional dengan cara menjalin kerjasama dengan sekolah di luar negeri. Trend kebangkitan sekolah swasta dalam kualitas cukup membuat sekolah negeri eks RSBI perlu bekerja keras agar tetap menjadi pilihan utama orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ada fenomena menarik belakangan ini tentang keberadaan sekolah swasta, terutama yang berbasis agama khususnya di kota-kota besar, mulai menjadi pilihan utama para orang tua untuk menyekolahkan anaknya, meski harus indent dengan biaya yang sangat mahal untuk orang kebanyakan. Apakah ini artinya, sekolah negeri berlabel apapun sekarang sudah tidak lagi menarik para orang tua, khususnya yang secara ekonomi berada di level menengah ke atas? Atau, hanya karena konten dan kemasan sekolah yang memberikan porsi cukup banyak muatan-muatan keagamaan dengan maksud memberikan bekal agama bagi siswanya, yang membuat para orang tua tertarik?
Jika mencermati apa yang pernah disampaikan oleh mantan Wakil Menteri Pendidikan, Fasli Jalan pada tahun 2011 sungguh menarik. Fasli Jalal mengungkapkan,  RSBI menerima anggaran dari pemerintah pusat, provinsi, dan pungutan dari orang tua siswa. Namun, anggaran tersebut tidak digunakan sesuai ketentuan pemerintah, yakni untuk peningkatan mutu dalam proses belajar mengajar serta kualitas tenaga pengajar. Ini dengan tujuan agar siswa yang bersekolah di RSBI menjadi siswa yang lebih berkualitas dibanding sekolah nasional.
            Sesuai evaluasi yang dilakukan beberapa waktu lalu oleh Kemendiknas, RSBI menggunakan dana tersebut untuk memperbaiki ruangan kelas, membangun laboratorium, memasang air conditioner, dan memasang pagar atau gerbang sekolah untuk mempercantik tampak luar gedung dibandingkan mutu pengajaran. “Padahal dana untuk fisik itu tidak bertepi.
Pemerintah berharap berharap uang itu dipakai untuk mutu, baru fisik. Itu pun harus dipilih dulu apa saja yang sangat penting untuk diperbaiki,” papar Fasli Jalal. Jelas ini adalah salah satu pembenaran mengapa RSBI perlu dihapus.
Jika distorsi penyelenggaraan RSBI benar adanya, ada banyak penyimpangan pengelolaan, terutama pengelolaan dana, rasanya penghapusan RSBI tidak akan membuat dunia pendidikan akan terpuruk, justru bisa jadi ini merupakan awal kebangkitan dunia pendidikan nasional, karena diskriminasi dunia pendidikan telah dihapuskan. Anak-anak pintar tapi tidak mampu secara ekonomi memiliki kesempatan kembali untuk memilih sekolah sesuai kehendak mereka.
Saat lebel RSBI telah ditanggalkan, apa lalu jadi pembenaran bahwa sekolah tak perlu lagi memikirkan mutu sekolah? Jika sekolah-sekolah eks RSBI memiliki komitmen untuk terus mempertahankan mutu sekolah tanpa harus bergantung pada lebel RSBI dan gelontoran dana dari pemerintah dan walimurid maka harapan untuk menciptakan dunia pendidikan nasional yang bermutu tidak akan sulit. Apalagi sebagian besar sarana dan prasarana sekolah telah memenuhi standard dan lengkap, juga didukung oleh guru-guru yang rata-rata sudah menyelesaikan S-2, maka tidak cukup alasan bila sekolah-sekolah eks RSBI tidak mampu menyelenggarakan sekolah yang bermutu. Dan, rasanya tidak mungkin walimurid meminta kembali fasilitas sekolah yang merupakan hasil donasi mereka.
Mudah-mudahan kebijakan penghapusan RSBI oleh MK tidak dipandang sebagai tindakan membakar lumbung saat dijumpai ada tikus di dalam lumbung. Sisa anggaran eks RSBI dari APBN kalau tidak diawasi secara cermat, memiliki potensi untuk digerogoti tikus. Rencana Mendikbud untuk mengalokasikan dana itu untuk proram hibah bersaing rentan terjadinya KKN. Untuk itu, jika memang program itu benar akan direalisasikan maka perlu transparansi dalam menentukan kriteria sekolah penerima hibah. Kalau perlu menggandeng lembaga independen untuk mengawal akuntabilitasnya. Saatnya kita meningkatkan mutu pendidikan nasional tanpa RSBI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pencabutan Keputusan Mendikbud Ristek Nomor 371/M/2021 tentang Program Sekolah Penggerak.

Nasib Program Sekolah Penggerak setelah pergantian Menteri Pendidikan dari Nadiem Anwar Makarim ke Abdul Mu'ti, terjawab sudah. Melalui ...