Keputusan penghapusan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional
(RSBI) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pasti akan menimbulkan pro dan kontra,
tergantung siapa yang memandangnya. Bagi sekolah penyelenggara RSBI, pasti hati nuraninya menentang keputusan itu,
sebatas menentang di dalam hati karena jika menentang secara fisik pasti tidak
akan dilakukan karena khawatir dianggap tidak taat hukum. Penyelenggara RSBI
terlanjur berada di zona nyaman dalam waktu yang relatif panjang, terutama
fasilitas dan pendanaan, sehingga kabar dikabulkannya tuntutan penghapusan RSBI
oleh MK membuat kecewa banyak sekolah penyandang lebel RSBI. Sementara itu,
mereka yang dari awal menentang keberadaan SBI/RSBI menyambut gembira putusan
MK tersebut.
Saat pemerintah pada tahun 2011
mengumumkan bahwa pemerintah menghentikan pemberian
izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan pemerintah sedang
mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan
pada 2006-2010 memberikan sinyal kepada
masyarakat dan pemerhati pendidikan waktu itu bahwa ada yang tidak beres dalam
pengelolaan RSBI. Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) menemukan penyimpangan penggunaan anggaran oleh Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI). Bahkan, 50 persen anggaran di RSBI telah disalahgunakan (Okezone.com/14/3/2011).
Penghapusan RSBI tidak akan mempengaruhi upaya pemerintah
untuk meningkat kualitas pendidikan nasional, karena sebagian besar
sekolah-sekolah yang berlebel RSBI sudah sejak awal merupakan sekolah-sekolah
unggulan di daerahnya masing-masing. Rasanya terlalu berlebihan bila ada yang
berpendapat bahwa jika RSBI dihapus kualitas pendidikan akan menurun secara
signifikan.
Negeri ini memerlukan sekolah yang berkualitas bagus dan
setara dengan negara lain, sehingga tidak perlu ada lagi orang tua yang memilih
menyekolahkan anaknya ke Malaysia hanya karena menganggap sekolah di Indonesia
tidak ada yang berkualitas. Jika pengelolaan sekolah dengan model RSBI ternyata
dianggap telah gagal meningkatkan kualitas pendidikan terutama aspek pemerataan
pendidikan, harus dicari model baru sistem sekolah yang mampu meningkatkan
kualitas pendidikan pada skala internasional dan tidak melanggar undang-undang.
Perlu kajian yang dalam sebelum mewujudkan keinginan menciptakan sekolah
berbasis pada penyelenggaran pendidikan bermutu
internasional sehingga tidak terulang kembali seperti kasus penghapusan
RSBI.
Ada kekhawatiran sekolah-sekolah negeri eks RSBI/SBI akan
kalah bersaing dengan sekolah swasta yang menerapkan sekolah berstandar
internasional dengan cara menjalin kerjasama dengan sekolah di luar negeri.
Trend kebangkitan sekolah swasta dalam kualitas cukup membuat sekolah negeri
eks RSBI perlu bekerja keras agar tetap menjadi pilihan utama orang tua untuk
menyekolahkan anak-anaknya. Ada fenomena menarik belakangan ini tentang
keberadaan sekolah swasta, terutama yang berbasis agama khususnya di kota-kota
besar, mulai menjadi pilihan utama para orang tua untuk menyekolahkan anaknya,
meski harus indent dengan biaya yang sangat mahal untuk orang kebanyakan.
Apakah ini artinya, sekolah negeri berlabel apapun sekarang sudah tidak lagi
menarik para orang tua, khususnya yang secara ekonomi berada di level menengah
ke atas? Atau, hanya karena konten dan kemasan sekolah yang memberikan porsi
cukup banyak muatan-muatan keagamaan dengan maksud memberikan bekal agama bagi
siswanya, yang membuat para orang tua tertarik?
Jika mencermati apa yang pernah disampaikan oleh mantan
Wakil Menteri Pendidikan, Fasli Jalan pada tahun 2011 sungguh menarik. Fasli Jalal
mengungkapkan, RSBI menerima anggaran dari pemerintah pusat,
provinsi, dan pungutan dari orang tua siswa. Namun, anggaran tersebut tidak
digunakan sesuai ketentuan pemerintah, yakni untuk peningkatan mutu dalam
proses belajar mengajar serta kualitas tenaga pengajar. Ini dengan tujuan agar
siswa yang bersekolah di RSBI menjadi siswa yang lebih berkualitas dibanding
sekolah nasional.
Sesuai evaluasi yang dilakukan beberapa waktu lalu oleh Kemendiknas, RSBI menggunakan dana tersebut untuk memperbaiki ruangan kelas, membangun laboratorium, memasang air conditioner, dan memasang pagar atau gerbang sekolah untuk mempercantik tampak luar gedung dibandingkan mutu pengajaran. “Padahal dana untuk fisik itu tidak bertepi. Pemerintah berharap berharap uang itu dipakai untuk mutu, baru fisik. Itu pun harus dipilih dulu apa saja yang sangat penting untuk diperbaiki,” papar Fasli Jalal. Jelas ini adalah salah satu pembenaran mengapa RSBI perlu dihapus.
Sesuai evaluasi yang dilakukan beberapa waktu lalu oleh Kemendiknas, RSBI menggunakan dana tersebut untuk memperbaiki ruangan kelas, membangun laboratorium, memasang air conditioner, dan memasang pagar atau gerbang sekolah untuk mempercantik tampak luar gedung dibandingkan mutu pengajaran. “Padahal dana untuk fisik itu tidak bertepi. Pemerintah berharap berharap uang itu dipakai untuk mutu, baru fisik. Itu pun harus dipilih dulu apa saja yang sangat penting untuk diperbaiki,” papar Fasli Jalal. Jelas ini adalah salah satu pembenaran mengapa RSBI perlu dihapus.
Jika distorsi penyelenggaraan RSBI benar adanya, ada
banyak penyimpangan pengelolaan, terutama pengelolaan dana, rasanya penghapusan
RSBI tidak akan membuat dunia pendidikan akan terpuruk, justru bisa jadi ini
merupakan awal kebangkitan dunia pendidikan nasional, karena diskriminasi dunia
pendidikan telah dihapuskan. Anak-anak pintar tapi tidak mampu secara ekonomi memiliki
kesempatan kembali untuk memilih sekolah sesuai kehendak mereka.
Saat lebel RSBI telah ditanggalkan, apa lalu jadi
pembenaran bahwa sekolah tak perlu lagi memikirkan mutu sekolah? Jika
sekolah-sekolah eks RSBI memiliki komitmen untuk terus mempertahankan mutu
sekolah tanpa harus bergantung pada lebel RSBI dan gelontoran dana dari
pemerintah dan walimurid maka harapan untuk menciptakan dunia pendidikan
nasional yang bermutu tidak akan sulit. Apalagi sebagian besar sarana dan
prasarana sekolah telah memenuhi standard dan lengkap, juga didukung oleh
guru-guru yang rata-rata sudah menyelesaikan S-2, maka tidak cukup alasan bila
sekolah-sekolah eks RSBI tidak mampu menyelenggarakan sekolah yang bermutu.
Dan, rasanya tidak mungkin walimurid meminta kembali fasilitas sekolah yang
merupakan hasil donasi mereka.
Mudah-mudahan kebijakan penghapusan RSBI oleh MK tidak
dipandang sebagai tindakan membakar lumbung saat dijumpai ada tikus di dalam
lumbung. Sisa anggaran eks RSBI dari APBN kalau tidak diawasi secara cermat,
memiliki potensi untuk digerogoti tikus. Rencana Mendikbud untuk mengalokasikan
dana itu untuk proram hibah bersaing rentan terjadinya KKN. Untuk itu, jika
memang program itu benar akan direalisasikan maka perlu transparansi dalam
menentukan kriteria sekolah penerima hibah. Kalau perlu menggandeng lembaga
independen untuk mengawal akuntabilitasnya. Saatnya kita meningkatkan mutu
pendidikan nasional tanpa RSBI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar