Saat mindset
kita terpola bahwa “menguasai bahasa Inggris adalah kunci memenangkan
persaingan di arena global”, maka penguasaan bahasa Inggris menjadi sangat
didewakan. Saat pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP),
sekolah dasar (SD) merespon otonomi sekolah dengan memasukkan pelajaran bahasa
Inggris dalam muatan lokal. Bahkan, banyak sekolah menerapkan pelajaran bahasa
Inggris mulai dari kelas satu. Bisa dibayangkan susahnya guru kelas satu saat
mengajarkan membaca dalam membaca dalam bahasa Inggris, sementara membaca
bahasa Indonesia saja mereka masih harus di eja.
Dari
awal pelajaran bahasa Inggris di SD hanyalah muatan lokal, bukan mata pelajaran
wajib. Dalam rancangan kurikulum 2013, mata pelajaran bahasa Inggris tetap
tidak dimasukkan sebagai mata pelajaran wajib. Menurut penulis, kebijakan untuk
tidak memasukkan mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib
dalam struktur kurikulum SD adalah langkah tepat. Penguatan bahasa Indonesia
harus dilakukan terlebih dahulu baru selanjutnya penguatan bahasa asing.
Bila
ada kekhawatiran orang tua, andaikata bahasa Inggris diajarkan saat anak
beranjak dewasa maka akan sulit untuk menguasainya, adalah kekhawatiran yang
wajar. Namun, kurikulum pendidikan tak harus selalu selaras dengan keinginan
orang tua. Perlu edukasi yang intens dari kemendikbud kepada orang tua, agar
arah kurikulum pendidikan juga dipahami oleh orang tua. Jangan sampai terjadi
deviasi pelaksanaan kurikulum hanya karena mengakomodasi keinginan orang tua,
tanpa pemahaman kurikulum secara utuh.
Andaikata
orang tua masih tetap ingin mengajarkan bahasa Inggris sejak dini, bisa melalui pendidikan ekstrakurikuler, les,
ataupun di lembaga kursus. Mengajarkan bahasa Inggris pada anak SD jangan
sampai membebani, mereka cukup dibekali dengan penguasaan kosa kata dengan cara
yang menyenangkan.
Penguatan
bahasa Indonesia perlu dilakukan sejak dini. Melalui penguatan bahasa Indonesia
sejak dini, diharapkan akan tumbuh jiwa nasionalisme sejak usia dini. Penguatan
bahasa Indonesia pada usia dini memiliki banyak manfaat. Pendidikan karakter
melalui media pelajaran bahasa Indonesia sangat strategis. Apalagi, saat ini
ditengarai rasa nasionalisme anak-anak dan remaja kita kian menurun.
Indikasinya, mereka lebih menyukai produk-produk dan budaya asing daripada
budaya bangsanya sendiri.
Penguatan
bahasa nasional, tak cukup dengan hanya menambah jam pelajaran bahasa
Indonesia, dan meniadakan pelajaran bahasa asing di tingkat sekolah dasar. Saat
pelajaran bahasa Indonesia hanya menjadi sebuah kumpulan kosa kota, tanpa
menyentuh ruh budaya nasional secara intens, misalnya menambah muatan pelajaran
sastra yang berakar dari budaya nasional.
Ada
fakta yang menarik, orang jepang, kemampuan bahasa Inggrisnya rendah, namun
bangsa Jepang berhasil menguasai ekonomi dunia. Lalu, akankah kita akan menjadi
khawatir kalah berkompetisi di tingkat global karena kita tidak mahir berbahasa
Inggris? Demikian juga ketika ada pertanyaan, apakah penghapusan bahasa Inggris
di SD akan berdampak terhadap prestasi siswa-siswa Indonesia di event
internasional yang saat ini mulai bangkit? Rasanya kekhawatiran itu terlalu
berlebihan, kalau tidak mau dikatakan naif. Anak-anak yang berprestasi di
tingkat internasional saat ini, bisa jadi saat SD-nya mereka tidak pernah
memperoleh pelajaran bahasa Inggris, karena penerapan mulok bahasa Inggris di
SD mulai diberlakukan sejak kurikulum KTSP, tahun 2006.
Tidak
memasukkan bahasa Inggris dalam struktur kurikulum SD sebagai mata pelajaran
wajib, pasti ada pro dan kontra. Meski wacana yang berkembang kadang keluar
konteks, karena dari awal bahasa Inggris di SD bukan mata pelajaran wajib, maka
istilah penghapusan pelajaran bahasa Inggris dalam draf kurikulum 2013 jelas
tidak tepat. Kemendikbud, melalui Wamendikbud Musliar Kasim telah
mengklarifikasi tentang hal tersebut. Meskipun demikian, Musliar Kasim, tetap
mempersilahkan bagi sekolah yang akan tetap menerapkan pelajaran bahasa Inggris
sebagai muatan lokal, asalkan tidak membebani siswa. Namun, setelah melihat draft
struktur kurikulum 2013 untuk SD, muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni
Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, sehingga
pelajaran bahasa Inggris akan diselipkan di mana?
Kurikulum
2013 memang masih belum disyahkan, respon masyarakat utamanya stackholder pendidikan dalam uji publik
kurikulum 2013 luar biasa, hingga 23 Desember 2012 sekitar 16.000 orang
berpartisipasi secara daring (online).
Ini memberikan gambaran bahwa banyak harapan digantungkan pada kurikulum baru
tersebut. Masyarakat menginginkan kurikulum yang ideal. Masyarakat tinggal
menunggu, apakah respon yang diberikan akan menjadi pertimbangan untuk
memperbaiki draft kurikulum 2013, atau tanggapan yang luar biasa banyak itu
hanya akan masuk tong sampah?
Penulis tidak punya
data, apakah dari sekian ribu tanggapan yang masuk ke website kemdikbud, ada
yang menyoal tentang tidak dimasukkannya bahasa Inggris dalam mata pelajaran
wajib di SD? Tanggapan secara daring memang hanya searah, bila ingin berjuang
menyampaikan aspirasi terhadap perubahan kurikulum akan lebih efektif melalui
dialog interaktif. Uji publik perubahan kurikulum melalui diskusi interaktif
secara offline mestinya lebih banyak
dibuka selain secara sinergis memberi ruang melalui online.
Kita berharap, hadirnya
kurikulum 2013 tidak hanya sekedar “ganti menteri ganti kurikulum”. Kurikulum
2013 diharapkan menjadi sarana mengantisipasi kebutuhan kompetensi di masa
depan. Bersaing di tingkat global dengan kemandirian lokal. Saatnya kita bangga
dengan apa yang kita miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar