Oleh:
Wahyudi Oetomo, SPd.
Wahyudi Oetomo, SPd.
Guru SMP Negeri 1 Kamal
Bangkalan
Banyak
orang Indonesia
menjadi sangat disiplin ketika berada di Singapura, bahkan mau membuang bungkus
permen saja tidak berani di sembarang tempat. Namun, sayang ketika kembali ke
tanah air, mereka kembali pada tabiat aslinya, suka membuang sampah
sembarangan.
Pada
konteks yang lain, saat berada di
sekolah, ada banyak sekolah yang mampu membuat siswanya merasa malu membuang
sampah sembarangan, walau terkadang awalnya mereka merasa terpaksa
melakukannya.
Ada adagium: “ala bisa
karena biasa”, yang mesti menjadi acuan setiap usaha membentuk pola hidup,
termasuk pola hidup berwawasan lingkungan. Saat orang Indonesia bisa sangat peduli lingkungan ketika
berada di Singapura, itu artinya orang Indonesia bisa menjadi disiplin
bila kondisi eksternal dirinya konsisten menegakkan kedisiplinan. Sangsi yang
tegas terhadap setiap pelanggaran adalah bagian yang integral dengan upaya
membangun kedisiplinan masyarakat untuk peduli kepada kebersihan dan kesehatan
lingkungan.
Demikian
juga di sekolah, sebagai komunitas mini dari masyarakat luas, sekolah menjadi
embrio penumbuhan sikap peduli lingkungan hidup. Ada banyak sekolah berhasil menjadikan
sekolah sebagai tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah, sehingga di
kemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggung jawab dalam
upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.
Optimisme
menjadikan sekolah sebagai sarana untuk menciptakan manusia Indonesia yang
berwawasan lingkungan harus terus ditumbuhkan. Kegagalan dunia sekolah di waktu
lalu menumbuhkan kesadaran peduli terhadap lingkungan yang ditunjukkan dari
semakin liarnya manusia merusak lingkungan mestinya tidak menjadi penghalang
untuk terus berusaha menanamkan
kesadaran kepada seluruh manusia Indonesia untuk cinta pada
lingkungan. Perlu kajian yang lebih dalam untuk memilih strategi yang paling
efektif mengintegrasikan pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulum pendidikan,
agar kegagalan dunia pendidikan
menanamkan kepedulian terhadap lingkungan tidak terulang lagi.
Ada fenomena menarik di
dunia sekolah untuk membangun kesadaran berwawasan lingkungan bagi semua warga
sekolah melalui program “Adiwiyata”. Adiwiyata adalah salah satu program dari Kementrian
Negara Lingkungan Hidup yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan
Nasional. Program ini berupaya mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran
warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Dalam program ini
diharapkan setiap warga sekolah dapat ikut terlibat dalam kegiatan sekolah
menuju lingkungan yang sehat dan menghindarkan dampak lingkungan yang negatif.
Tujuan
dari program Adiwiyata adalah
menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran
dan penyadaran warga sekolah (guru, murid, dan pekerja lainnya), sehingga di
kemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggung jawab dalam
upaya-upaya penyelamatan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam
praktiknya, untuk mewujudkan sekolah Adiwiyata, yang peduli dan berbudaya
lingkungan tidaklah mudah, memerlukan beberapa kebijakan sekolah yang mendukung
dilaksanakannya kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan hidup oleh semua warga
sekolah . Dimulai dari visi dan misi sekolah yang peduli dan berbudaya
lingkungan, kebijakan sekolah dalam mengembangkan pembelajaran pendidikan
lingkungan hidup, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (tenaga
kependidikan dan non-kependidikan) di bidang pendidikan lingkungan hidup,
kebijakan sekolah dalam upaya penghematan sumber daya alam, kebijakan sekolah
yang mendukung terciptanya lingkungan sekolah yang bersih dan sehat, kebijakan
sekolah untuk pengalokasian dan penggunaan dana bagi kegiatan yang berkait
dengan masalah lingkungan, hingga pengembangan kurikulum berbasis lingkungan
hidup kepada para siswa.
Dalam
pengembangan kurikulum berbasis lingkungan pilihan penyampaian materi
lingkungan hidup kepada para siswa antara dilakukan melalui kurikulum secara
terintegrasi atau monolitik, tidak relevan lagi didiskusikan. Kurikulum
pendidikan kita yang overloud, rasanya
tidak mungkin mengkonstruksi pendidikan lingkungan hidup sebagai sebuah mata
pelajaran. Kegagalan pendekatan integrasi materi lingkungan hidup kepada mata
pelajaran relevan di masa lampau, memerlukan
kajian yang dalam sehingga tidak terulang kembali. Perlu pengembangan
materi, model pembelajaran dan metode belajar yang bervariasi untuk
mengintegrasi materi lingkungan hidup ke dalam mata pelajaran yang ada. Agar
lebih kontekstual, penanaman konsep lingkungan hidup harus dikaitkan dengan
persoalan lingkungan sehari-hari (isu lokal).
Pembelajaran
kontekstual adalah kata kunci dalam penanaman nilai kepedulian lingkungan di
sekolah. Penanaman nilai-nilai di sekolah tidak cukup hanya “mengobral
kata-kata”, namun harus lebih banyak perbuatan. Misalnya, penyadaran pentingnya
membuang sampah di tempatnya tidak cukup hanya lewat kata-kata (talk only), namun siswa harus mampu
menerapkan di sekolah. Untuk tahap awal, pemberian hukuman kepada siswa yang
melanggar larangan membuang sampah di sembarang tempat harus dilakukan.
Pemahaman bahwa limbah organik berupa sampah makhluk hidup dapat dimanfaatkan
untuk pupuk harus dipraktikkan, misalnya siswa diajak untuk membuat kompos.
Secara
prinsip semua mata pelajaran dapat menjadi relevan diintegrasikan pendidikan
berwawasan lingkungan. Namun, bila ingin fokus kepada mata pelajaran tertentu
agar lebih efektif, ada beberapa mata pelajaran yang sangat relevan disisipi
materi pendidikan berwawasan lingkungan, antara lain: IPA, IPS, Bahasa
Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, atau Pendidikan Agama. Agar penanaman
kecintaan pada lingklungan hidup lebih efektif dan tidak mengulang kegagalan
program yang sama pada tahun 1996 – 2001 perlu pelatihan khusus menyiapkan
guru-guru melaksanakan program tersebut. Termasuk, kesiapan perangkat kurikulum
sebagai panduan baku
melaksanakan program tersebut.
Pelaksanaan
pendidikan berwawasan lingkungan mulai dari pendidikan dasar, sangat mendesak
untuk direalisasikan. Berbagai fakta empirik kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh ulah manusia demikian mudah tersaji di hadapan kita. Banjir,
longsor, pencemaran lingkungan, pemanasan global, atau kebakaran hutan adalah
bencana lingkungan yang mengancam eksistensi manusia. Perlu penyadaran yang
lebih massif tentang perlunya menjaga kelestarian lingkungan, dan media yang
dinilai efektif adalah lewat dunia pendidikan. Bila ini tidak segera dilakukan
implikasinya sangat mahal, yaitu ancaman atas eksistensi manusia. Kalau tidak
sekarang, kapan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar