01 Juni 2009

Artikel UU BHP dan Liberalisasi Pendidikan

UU BHP & LIBERALISASI PENDIDIKAN
Wahyudi Oetomo, SPd.
Guru SMP Negeri 1 Kamal Bangkalan

Kehadiran Undang-Undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) hingga kini terus mengundang polemik di masyarakat. Perbedaan sudut pandang dan kepentingan melahirkan berbagai opini terhadap kehadiran UU BHP. Pro-kontra terhadap kehadiran UU BHP sudah dimulai sejak dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) dan mungkin terus akan memunculkan perdebatan hingga Undang-
Undang tersebut bisa diterima oleh semua pihak. Tapi, mungkinkah situasi itu akan tercipta?
Lahirnya UU BHP merupakan amanat dari UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pasal 53 ayat 1, yang berbunyi : ”Penyelenggara dan / atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

Para pengeritik UU BHP hampir semuanya berangkat dari asumsi bahwa kehadiran UU BHP akan memunculkan ekses negatif bagi dunia pendidikan, termasuk masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan akan terkena dampak pemberlakuan UU BHP. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa bila UU BHP diterapkan membawa dunia pendidikan pada ”liberalisasi pendidikan”, yang akhirnya akan bermuara pada kapitalisasi pendidikan yang ”profit oriented”.

Bahkan, ada sebuah partai politik kontestan Pemilu yang secara terbuka memiliki agenda untuk mencabut keberadaan UU BHP. Sebuah pilihan sikap yang sangat ekstrim terhadap keberadaan UU BHP, tanpa memberikan kesempatan untuk diterapkan dan mengevaluasi pelaksanaan UU tersebut. Mungkin, banyak masyarakat yang memiliki pandangan yang sama dengan pilihan sikap partai tersebut pada keberadaan UU BHP. Namun, rasanya tidak bijak bila sebuah UU, yang telah dilegitimasi oleh DPR, yang merupakan representasi masyarakat, kemudian diagendakan untuk dicabut tanpa pernah diimplementasikan.

Sederet titik lemah dari UU BHP, meski terkadang baru pada tataran analisis teoritis, tanpa bersandar pada fakta empiris, oleh sekelompok masyarakat yang anti UU BHP, dijadikan alasan perlunya UU BHP dicabut. Saat sebuah UU masih berupa RUU, dan ada tenggang waktu yang cukup untuk menyaring opini publik, kemudian DPR mengesahkan secara aklamasi pengesahan RUU menjadi UU, maka UU tersebut membawa konsekuensi untuk diterapkan dan mengikat semua warga negara untuk melaksanakannya. Ada ruang untuk masyarakat yang menolak keberadaan UU BHP dengan melakukan pengajuan uji materi UU ke Mahkamah Konstitusi. Bukan secara frontal menolak, menyerukan pencabutan lalu tamatlah UU tersebut.

Menurut Heri Akhmadi, ketua panitia kerja RUU BHP Komisi X DPR, mengatakan penolakan terhadap BHP itu dinilai akibat belum dipahaminya semangat dan substansi pasal demi pasal UU BHP. Menurut Heri Akhmadi, jika mengacu pada UU BHP seharus biaya pendidikan semakin murah, karena batasan pungutan kepada masyarakat yaitu paling banyak sekitar 33 persen dari biaya operasional.

Sedangkan menurut Johannes Gunawan, guru besar hukum perjanjian Unpar dan Anggota Panja RUU BHP Pemerintah dan Komisi X DPR berpendapat reaksi banyak kalangan menolak UU BHP disebabkan dua hal. Pertama, pemahaman yang belum utuh terhadap UU BHP. Kedua, dugaan bahwa BHP identik dengan praktik beberapa PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memasang tarif SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.

Dalam beberapa pasal UU BHP, telah dijabarkan cukup jelas bahwa pemerintah tidak bermaksud melepas tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut pasal 41 Ayat (1) UU BHP, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHP Pemerintah (dibawah Depag) dan BHP Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi para siswa. Jadi, UU BHP menjamin bahwa negara menanggung semua biaya pendidikan untuk wajib belajar 9 tahun atau siswa tidak perlu membayar SPP.

Untuk siswa pendidikan menengah, pasal 41 ayat 8 UU BHP menjamin biaya pendidikan yang ditanggung oleh seluruh siswa pada BHPP atau BHPPD paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP atau BHPPD tersebut, sedangkan sisanya ditanggung oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sedangkan bagi pendidikan tinggi, pada pasal 41 ayat 9 UU BHP menetapkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP tersebut.

Mengenai masyarakat miskin, dalam pasal 46 ayat 1 UU BHP mewajibkan BHP menjaring dan menerima WNI miskin yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 % dari jumlah siswa / mahasiswa baru. Sedangkan, pada pasal 46 ayat 2 UU BHP wajib mengalokasikan beasiswa bagi siswa/mahasiswa miskin dan/ atau yang memiliki potensi akademik yang tinggi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh / mahasiswa.
Bila BHP tidak melaksanakan UU BHP, misalnya memungut dari siswa / mahasiswa lebih dari sepertiga biaya operasional dan tidak menjaring mahasiswa miskin, dalam pasal 62 ayat 1 dan ayat 2 UU BHP menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran lisan sampai dengan pencabutan izin satuan pendidikan di dalam BHP tersebut.

Kekhawatiran masyarakat bahwa BHP akan terseret pada komersialisasi pendidikan akan dicegah oleh pasal 4 ayat 1, UU BHP mengatur bahwa BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan / atau mutu layanan pendidikan.

Juga keresahan dunia pendidikan bila Badan Hukum Pendidikan harus diterapkan di pendidikan dasar dan menengah, tidak perlu terjadi. Menurut Fasli Jalal, Direktur Jendral Departemen Pendidikan Nasional, pemerintah mencari cara agar satuan pendidikan dasar dan menengah tidak terlalu mudah ber-BHP. Dibuatlah standar sangat tinggi agar sekolah dapat ber-BHP yakni memenuhi delapan standar nasional pendidikan (SNP) dan berakreditasi A. Saat ini, belum ada sekolah yang memenuhi standar itu. Dan, menurut Heri Akhmadi, ketua panitia kerja RUU BHP Komisi X DPR, Badan Hukum Pendidikan diwajibkan kepada seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Sedangkan untuk satuan pendidikan yang lebih rendah seperti SD/ SMP / SMA hanya sebagai pilihan.

Bila kita menelisik pasal demi pasal UU BHP, kekhawatiran kita terhadap praktik komersialisasi, liberalisasi, atau bahkan apatisme pemerintah terhadap dunia pendidikan rasanya terlalu berlebih-lebihan. Tapi, bila masyarakat tetap menolak kehadiran UU BHP masih ada kesempatan mengajukan judicial review ke MK, dan bila UU BHP ini memiliki potensi menenggelamkan kualitas pendidikan nasional setelah melalui uji materi di MK, semuanya harus menerima bila UU tersebut di perbaiki atau bahkan dicabut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pidato Mendikbudristek untuk upacara peringatan Hardiknas 2023.pdf

     Teks bisa di unduh disini