10 Oktober 2012

PENDIDIKAN YANG BERORIENTASI PADA KUALITAS BUKAN KUANTITAS


                Wahyudi Oetomo, SPd.
Guru SMP Negeri 1 Kamal Bangkalan
Saat ada yang bertanya, sebagai pendidik banggakah anda terhadap angka kelulusan SMA yang mencapai angka 99,5%? Tergantung. Jika proses dalam memperoleh angka kelulusan 99,5% itu melalui proses yang jujur, terutama dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sebagai variabel terpenting dalam penentuan kelulusan, maka kita akan merasa angka kelulusan yang lumayan tinggi itu. Namun, jika proses memperoleh angka itu sarat dengan praktik kecurangan, tentu saja rasa bangga itu tidak pernah ada.
            Dunia pendidikan kita tengah mengalami disorientasi, dimana orientasi pendidikan kita terjebak pada orientasi kuantitas, dan meminggirkan orientasi kualitas. Sekolah beserta stakeholder-nya terperangkap pada sebuah paradigma, bahwa ukuran keberhasilan praksis pendidikan terletak pada indikator kuantitas. Mulai dari Gubernur hingga kepala sekolah, setiap menjelang UN mematok target kelulusan 100%. Jika angka kelulusan tidak mencapai angka 100% dianggap sebuah aib. Lalu apa akibatnya? Semua orang yang berkepentingan terhadap target kelulusan akan menghalalkan segala cara untuk meraih tingkat kelulusan maksimal. Dan, inilah awal bencana hancurnya kualitas pendidikan nasional.
            Tapi, kita perlu tetap meyakini bahwa masih ada orang-orang yang tetap konsisten mempertahankan idealismenya dan lebih memilih menyemai kejujuran pada peserta didiknya daripada menggadaikan nilai-nilai kejujuran hanya demi menyenangkan atasannya dan memaksakan kelulusan 100%.
            Pemerataan kualitas pendidikan, melalui pemetaan tingkat kelulusan secara nasional adalah implikasi lain dari pentingnya menanamkan kejujuran dalam proses meraih target kelulusan. Jika perolehan angka kelulusan dicapai dengan menghalalkan segala cara, maka potret pemetaan kualitas pendidikan akan menjadi semu.
            Berdasarkan data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, angka kelulusan SMA/MA dan SMK terendah secara nasional diraih Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari seluruh jumlah peserta 36.228 orang siswa, dinyatakan lulus 34.304 siswa atau 95,50 persen, sedangkan tidak lulus sebanyak 1.994 siswa. Menurut M. Nuh, belum beranjaknya NTT dari peringkat terbawah persentase kelulusan UN disebabkan oleh empat faktor yakni motivasi, kualitas guru, infrastruktur, dan dukungan keluarga. Oleh karena itu pemerintah berupaya mengintervensi dengan berbagai hal termasuk penyediaan dana pendidikan. Tahun ini  sudah hampir Rp 200-300 miliar selain anggaran-anggaran lazim, kata M.Nuh.
            Kemendikbud berasumsi UN berlangsung bersih sehingga hasil kelulusan dianggap cukup sahih untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Padahal fakta empiriknya tidak begitu. Program pemerataan kualitas pendidikan di negeri ini jika hanya mengacu pada hasil kelulusan secara nasional rentan salah sasaran. Kalau kementrian pendidikan merasa belum punya instrumen lain untuk memetakan kualitas pendidikan selain angka kelulusan, bersiap-siaplah peta itu akan menjadi peta kabur yang tak memberikan gambaran apa-apa.  “Fungsi ujian nasional (UN) untuk memetakan keberhasilan pendidikan Indonesia tidak berjalan sejak UN diberlakukan tahun 2004”, kata pakar pendidikan dari Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto(www.antaranews.com).
            Seandainya UN hanya berfungsi sebagai alat pemetaan dan tidak berfungsi sebagai variabel yang sangat dominan dalam menentukan kelulusan, maka harapan memperoleh hasil yang lebih akurat terhadap potret pendidikan di negeri ini akan bisa diperoleh. Jika semua stakeholder pendidikan yang punya kepentingan terhadap hasil UN dan kelulusan tetap saja menghalalkan segala cara untuk memperoleh hasil maksimal sementara UN tak lagi menjadi alat kelulusan, maka kiamatlah dunia pendidikan kita.
            Orang tua yang cerdas dalam memilih sekolah anaknya tentu tidak hanya akan melihat angka kelulusan sekolah tersebut. Percuma saja sekolah tersebut angka kelulusannya tinggi dan rata-rata UN-nya mendekati angka 10, jika sekolah tersebut tidak berkualitas prosesnya. Mengukur proses sebuah sekolah bisa dilihat dari keberadaan sarana dan pra sarana sekolah, serta prestasi sekolah tersebut dalam berbagai even lomba baik akademik maupun akademik. Menjual angka kelulusan sering dilakukan oleh sekolah swasta untuk menarik minat calon murid. Orang tua yang cerdas tentu saja tidak akan mudah terbujuk, apalagi sekolah tersebut fasilitas sarana prasarananya minim.
            Selain permasalahan kualitas, dunia pendidikan kita tengah menghadapi problem turunnya kualitas moral peserta didik. Aksi-aksi melanggar aturan dan norma masyarakat pasca pengumuman kelulusan adalah rutinitas yang selalu berulang setiap tahun. Dunia sekolah dianggap telah gagal mencetak manusia-manusia berkarakter luhur. Ekspresi kegembiraan yang berlebihan pasca pengumuman kelulusan, memunculkan asumsi bahwa sekolah dianggap sebagai “penjara” yang mengungkung peserta didik. Sehingga, tatkala mereka dinyatakan lulus, meski dengan cara tak jujur, mereka mengekspresikannya dengan berlebih-lebihan dan melampaui batas aturan, bak baru terbebas dari penjara.
            Peluapan kegembiran kelulusan oleh peserta didik kita kian membuat hati kita miris. Pelangggaran lalu lintas, pesta narkoba, minum-minuman keras, dan pesta seks sering kita dengar saat pengumuman kelulusan. Jelas itu cara primitif dan tidak cerdas. Dan, tugas sekolah mencegah aksi-aksi tersebut bersama-sama dengan orang tua, dan aparat penegak hukum. Penanaman karakter melalui integrasi kurikulum pendidikan adalah salah satu cara menangkal perilaku-perilaku buruk dan melanggar norma peserta didik kita. Namun, jika penanaman karakter disekolah ternyata tidak konsisten, misalnya mengajarkan peserta didik jujur tetapi justru pihak sekolah memberikan bocoran jawaban UN maka penanaman karakter itu akan percuma. Konsistensi ini harus terus berlaku di luar sekolah, jangan sampai sekolah mengajarkan karakter luhur, sementara peserta didik kita melihat aneka penyimpangan sosial di luar sekolah, misal praktik korupsi pejabat, perampokan, pembunuhan dan penyimpangan sosial lain.
            Akhirnya, saat ini waktunya untuk mengembalikan praksis pendidikan pada relnya. Orientasi pendidikan harus dikembalikan pada asasinya yakni kualitas. Memaksakan angka kelulusan 100% menafikan kondrat kemanusiaan. Meski M.Nuh, Mendikbud, pernah mengatakan “semua pihak hendaknya tidak memaksakan memperoleh hasil Ujian Nasional (UN) lulus 100 persen”. Tapi, apakah semua orang yang memiliki kepentingan dengan angka kelulusan akan menuruti kata-kata pak Nuh itu. Selama angka kelulusan bisa menjadi komoditi politik kepala daerah, maka angka kelulusan itu akan terus dipaksakan untuk mendekati ke angka 100%. Para kepala sekolah lebih takut kepada kepala daerah dari pada kepada Mendikbud. Jika kepala daerah menginstruksikan agar sekolah mengupayakan kelulusan 100%, maka semua kepala sekolah akan memiliki motto yang sama “lulus 100%”. Jika kondisi ini terus terpelihara, maka keterpurukan dunia pendidikan kita akan abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pidato Mendikbudristek untuk upacara peringatan Hardiknas 2023.pdf

     Teks bisa di unduh disini