Wahyudi Oetomo, SPd.
Guru SMP Negeri 1 Kamal Bangkalan
Saat
ada yang bertanya, sebagai pendidik banggakah anda terhadap angka kelulusan SMA
yang mencapai angka 99,5%? Tergantung. Jika proses dalam memperoleh angka
kelulusan 99,5% itu melalui proses yang jujur, terutama dalam pelaksanaan Ujian
Nasional (UN) sebagai variabel terpenting dalam penentuan kelulusan, maka kita
akan merasa angka kelulusan yang lumayan tinggi itu. Namun, jika proses
memperoleh angka itu sarat dengan praktik kecurangan, tentu saja rasa bangga
itu tidak pernah ada.
Dunia pendidikan kita tengah
mengalami disorientasi, dimana orientasi pendidikan kita terjebak pada
orientasi kuantitas, dan meminggirkan orientasi kualitas. Sekolah beserta stakeholder-nya terperangkap pada sebuah
paradigma, bahwa ukuran keberhasilan praksis pendidikan terletak pada indikator
kuantitas. Mulai dari Gubernur hingga kepala sekolah, setiap menjelang UN
mematok target kelulusan 100%. Jika angka kelulusan tidak mencapai angka 100%
dianggap sebuah aib. Lalu apa akibatnya? Semua orang yang berkepentingan
terhadap target kelulusan akan menghalalkan segala cara untuk meraih tingkat kelulusan
maksimal. Dan, inilah awal bencana hancurnya kualitas pendidikan nasional.
Tapi, kita perlu tetap meyakini
bahwa masih ada orang-orang yang tetap konsisten mempertahankan idealismenya
dan lebih memilih menyemai kejujuran pada peserta didiknya daripada
menggadaikan nilai-nilai kejujuran hanya demi menyenangkan atasannya dan
memaksakan kelulusan 100%.
Pemerataan kualitas pendidikan,
melalui pemetaan tingkat kelulusan secara nasional adalah implikasi lain dari
pentingnya menanamkan kejujuran dalam proses meraih target kelulusan. Jika
perolehan angka kelulusan dicapai dengan menghalalkan segala cara, maka potret
pemetaan kualitas pendidikan akan menjadi semu.
Berdasarkan data Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, angka kelulusan SMA/MA dan SMK terendah secara
nasional diraih Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari seluruh jumlah peserta 36.228
orang siswa, dinyatakan
lulus 34.304
siswa atau 95,50 persen, sedangkan tidak lulus sebanyak 1.994 siswa. Menurut M. Nuh, belum beranjaknya NTT dari
peringkat terbawah persentase kelulusan UN disebabkan oleh empat faktor yakni
motivasi, kualitas guru, infrastruktur, dan dukungan keluarga. Oleh karena itu
pemerintah berupaya mengintervensi dengan berbagai hal termasuk penyediaan dana
pendidikan. Tahun ini
sudah hampir Rp 200-300 miliar selain anggaran-anggaran lazim, kata
M.Nuh.
Kemendikbud
berasumsi UN berlangsung bersih sehingga hasil kelulusan dianggap cukup sahih
untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Padahal fakta empiriknya
tidak begitu. Program pemerataan kualitas pendidikan di negeri ini jika hanya
mengacu pada hasil kelulusan secara nasional rentan salah sasaran.
Kalau
kementrian pendidikan merasa belum punya instrumen lain untuk memetakan
kualitas pendidikan selain angka kelulusan, bersiap-siaplah peta itu akan
menjadi peta kabur yang tak memberikan gambaran apa-apa. “Fungsi ujian
nasional (UN) untuk memetakan keberhasilan pendidikan Indonesia tidak berjalan
sejak UN diberlakukan tahun 2004”, kata pakar pendidikan dari Institut
Teknologi Bandung, Iwan Pranoto(www.antaranews.com).
Seandainya
UN hanya berfungsi sebagai alat pemetaan dan tidak berfungsi sebagai variabel
yang sangat dominan dalam menentukan kelulusan, maka harapan memperoleh hasil
yang lebih akurat terhadap potret pendidikan di negeri ini akan bisa diperoleh.
Jika semua stakeholder pendidikan
yang punya kepentingan terhadap hasil UN dan kelulusan tetap saja menghalalkan
segala cara untuk memperoleh hasil maksimal sementara UN tak lagi menjadi alat
kelulusan, maka kiamatlah dunia pendidikan kita.
Orang
tua yang cerdas dalam memilih sekolah anaknya tentu tidak hanya akan melihat
angka kelulusan sekolah tersebut. Percuma saja sekolah tersebut angka
kelulusannya tinggi dan rata-rata UN-nya mendekati angka 10, jika sekolah
tersebut tidak berkualitas prosesnya. Mengukur proses sebuah sekolah bisa dilihat
dari keberadaan sarana dan pra sarana sekolah, serta prestasi sekolah tersebut
dalam berbagai even lomba baik akademik maupun akademik. Menjual angka
kelulusan sering dilakukan oleh sekolah swasta untuk menarik minat calon murid.
Orang tua yang cerdas tentu saja tidak akan mudah terbujuk, apalagi sekolah
tersebut fasilitas sarana prasarananya minim.
Selain
permasalahan kualitas, dunia pendidikan kita tengah menghadapi problem turunnya
kualitas moral peserta didik. Aksi-aksi melanggar aturan dan norma masyarakat
pasca pengumuman kelulusan adalah rutinitas yang selalu berulang setiap tahun.
Dunia sekolah dianggap telah gagal mencetak manusia-manusia berkarakter luhur.
Ekspresi kegembiraan yang berlebihan pasca pengumuman kelulusan, memunculkan
asumsi bahwa sekolah dianggap sebagai “penjara” yang mengungkung peserta didik.
Sehingga, tatkala mereka dinyatakan lulus, meski dengan cara tak jujur, mereka
mengekspresikannya dengan berlebih-lebihan dan melampaui batas aturan, bak baru
terbebas dari penjara.
Peluapan
kegembiran kelulusan oleh peserta didik kita kian membuat hati kita miris.
Pelangggaran lalu lintas, pesta narkoba, minum-minuman keras, dan pesta seks
sering kita dengar saat pengumuman kelulusan. Jelas itu cara primitif dan tidak
cerdas. Dan, tugas sekolah mencegah aksi-aksi tersebut bersama-sama dengan
orang tua, dan aparat penegak hukum. Penanaman karakter melalui integrasi
kurikulum pendidikan adalah salah satu cara menangkal perilaku-perilaku buruk
dan melanggar norma peserta didik kita. Namun, jika penanaman karakter
disekolah ternyata tidak konsisten, misalnya mengajarkan peserta didik jujur
tetapi justru pihak sekolah memberikan bocoran jawaban UN maka penanaman
karakter itu akan percuma. Konsistensi ini harus terus berlaku di luar sekolah,
jangan sampai sekolah mengajarkan karakter luhur, sementara peserta didik kita
melihat aneka penyimpangan sosial di luar sekolah, misal praktik korupsi
pejabat, perampokan, pembunuhan dan penyimpangan sosial lain.
Akhirnya,
saat ini waktunya untuk mengembalikan praksis pendidikan pada relnya. Orientasi
pendidikan harus dikembalikan pada asasinya yakni kualitas. Memaksakan angka
kelulusan 100% menafikan kondrat kemanusiaan. Meski M.Nuh, Mendikbud, pernah
mengatakan “semua pihak
hendaknya tidak memaksakan memperoleh hasil Ujian Nasional (UN) lulus 100
persen”. Tapi, apakah semua orang yang memiliki kepentingan dengan angka
kelulusan akan menuruti kata-kata pak Nuh itu. Selama angka kelulusan bisa
menjadi komoditi politik kepala daerah, maka angka kelulusan itu akan terus
dipaksakan untuk mendekati ke angka 100%. Para kepala sekolah lebih takut
kepada kepala daerah dari pada kepada Mendikbud. Jika kepala daerah
menginstruksikan agar sekolah mengupayakan kelulusan 100%, maka semua kepala
sekolah akan memiliki motto yang sama “lulus 100%”. Jika kondisi ini terus
terpelihara, maka keterpurukan dunia pendidikan kita akan abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar