Oleh:
Wahyudi Oetomo,
SPd.
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)/ Human Development Index (HDI) Indonesia tiap tahun berfluktuasi, tapi
pergeserannya berkutat di level rendah (ratusan). Sungguh ironi ditengah klaim
keberhasilan pembangunan oleh Pemerintahan SBY.
Berdasarkan laporan terbaru, April 2012 (Media. Juni 2012), Indonesia
menempati urutan ke 117 dari 177 negara yang disurvei. Peringkat Indonesia
selalu kalah dari Malaysia, Thailand, Filipina, apalagi Brunai dan Singapura,
kita jauh ketinggalan.
Indikator
IPM meliputi tiga aspek pengukuran yaitu, pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Variabelnya adalah rata-rata usia
harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan per kapita. Ketiga
variabel dasar dalam menentukan IPM berkorelasi dengan indikator keberhasilan
pembangunan secara makro. Sebuah daerah (propinsi) atau negara secara
keseluruhan mustahil mengklaim pembangunannya berhasil bila IPM-nya rendah.
Jika klaim keberhasilan pemerintah selama ini tidak paralel dengan meningkatnya
nilai IPM yang disurvei oleh United
Nations Development Programme (UNDP),
maka klaim tersebut dianggap oleh publik sebagai pepesan kosong, sekedar
pencitraan belaka.
Mestinya
pemerintah harus lebih keras bekerja agar IPM kita kian meningkat yang menjadi
indikasi peningkatan kesejahteraan penduduk negeri ini, dan tidak mengklaim
bahwa pemerintah telah berhasil membawa penduduknya kian sejahtera sementara
faktanya tingkat kesejahteraan penduduk kian menukik tajam, angka kemiskinan
kian meningkat, angka harapan hidup kian rendah, rata-rata lama sekolah sekolah
tambah turun, dan pendapatan perkapita semakin rendah.
Disparitas
antar propinsi khususnya propinsi-propinsi yang berada di Papua dengan propinsi
lain kian tajam. Misalnya, angka tidak/belum pernah bersekolah di Papua ada
38,38 persen, dan di Papua Barat ada 10,96 persen (sensus penduduk 2010, BPS).
Sebagai wilayah yang kaya akan sumber alam, mestinya fakta memilukan di Papua
itu tidak boleh terjadi. Gejolak keamanan di wilayah Papua akhir-akhir ini juga
turut menghambat peningkatan kualitas pembangunan manusia diwilayah tersebut,
dan bisa jadi akibat disparitas hasil pembangunan menjadikan beberapa kelompok
masyarakat di Papua ingin melepaskan diri dari Indonesia, karena dianggap
pemerintah telah gagal mensejahterakan rakyat Papua, sementara sumber alam
Papua sangat berlimpah, sungguh ironi.
Di
sektor pendidikan, berdasarkan IPM Indonesia tahun 2011 memberikan kontribusi
angka 0,584, artinya rata-rata lama sekolah 5,8 tahun
diukur dari penduduk berusia 25 tahun ke atas. Jadi rata-rata penduduk
Indonesia yang berusia 25 tahun ke atas di negeri ini pada tahun 2011 hanya
berpendidikan SD kelas enam. Lagi-lagi ini adalah fakta yang menyedihkan.
Upaya
pemerintah saat ini memang baru akan terhitung dalam IPM beberapa tahun yang
akan datang. Untuk meningkatkan angka rata-rata lama sekolah pemerintah mencanangkan
program wajib belajar 12 tahun, hingga sekolah menengah atas. Upaya rintisan pemerintah untuk memperluas
akses pendidikan hingga tingkat SMA dengan memberikan dana BOS di tingkat SMA
perlu diapresiasi, meski jumlahnya masih sangat kecil yaitu sebesar
Rp.125.000,- per siswa/tahun.
Upaya
baik oleh pemerintah untuk memperluas akses belajar, yang berimplikasi untuk
meningkatkan rata-rata lama belajar sering tidak seiring dengan kebijakan di
tingkat unit pelaksana teknis, yakni sekolah. Sekolah, oleh publik, masih
dianggap sebagai penghambat upaya perluasan akses wajib belajar. Sekolah
dinilai banyak orang telah terjebak pada komersialisasi, dan menjadi tidak
terjangkau oleh kelompok masyarakat tidak mampu. Ketika sekolah membebaskan
uang SPP, dengan kompensasi dana BOS, biaya-biaya lain sebagai biaya personal
tak mampu dibayar oleh orang tua siswa. Biaya seragam, buku, les, transport,
ekstrakurikuler, uang gedung, dan biaya-biaya lain yang tidak terjangkau wali
murid.
Jika
indikasi keberhasilan sektor pendidikan hanya didasarkan pada IPM, dimana
variabel penentunya untuk bidang pendidikan hanya rata-rata lama sekolah maka
akan menjebak kita pada orientasi kuantitatif. Mestinya upaya peningkatan
rata-rata lama sekolah juga dibarengi dengan upaya peningkatan pendidikan
secara kualitatif. Berdasarkan survei
Political and Economic Risk Consultant
(PERC), kualitas pendidikan
di Indonesia berada pada urutan
ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi
Indonesia berada di bawah Vietnam.
Persoalan
peningkatan kualitas pendidikan adalah pekerjaan paling berat yang harus
dibereskan oleh setiap pemerintah yang berkuasa. Orientasi pendidikan kita yang
masih “orientasi kuantitas” harus mulai memberlakukan “orientasi kualitas”. Pemberdayaan
sekolah secara konsisten harus dilakukan oleh pemerintah. Intervensi pemerintah
yang terlalu dalam terhadap proses pembelajaran harus segera dikurangi. Ujian
Nasional (UN) sebagai salah satu contoh intervensi pemerintah pada sistem
evaluasi di sekolah harus ditinjau ulang. Manipulasi hasil UN di lapangan
dinilai oleh banyak pengamat pendidikan sebagai biang kerok penurunan kualitas
pendidikan kita.
Upaya
meningkatkan IPM dari sektor kesehatan mesti diarahkan pada peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Variabel sektor kesehatan dalam IPM
adalah rata-rata usia harapan hidup, yang pada tahun 2011 69,4 tahun, masih
tertinggal dari negara tetangga kita Malaysia, 74,2 tahun. Program pelayanan
kesehatan terhadap keluarga miskin lewat Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Persalinan (Jampersal) pada tahun
2012 ini pemerintah menganggarkan Rp 7,4
triliun diharapkan menjadi pintu untuk meningkatkan angka rata-rata harapan
hidup penduduk Indonesia. Jangan lagi muncul slogan lucu tapi menyakitkan yaitu
“orang miskin dilarang sakit”. Slogan itu muncul atas keprihatinan masyarakat
akan mahalnya biaya pelayanan kesehatan di negeri ini.
Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sangat
berkait erat dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendapatan perkapita penduduk
adalah indikator sektor ekonomi dalam IPM. Namun, ketika pendapatan perkapita
dihitung dalam angka rata-rata sedangkan pemerataan ekonomi tidak merata di
semua wilayah negeri ini, maka angka pendapatan perkapita masyarakat akan
menjadi angka semu.
Jika pemerintah beritikat meningkatkan pendapatan
perkapita penduduk, maka orientasinya adalah pemberdayaan sektor usaha mikro,
kecil, menengah(UMKM), dan koperasi. Karena pelaku sektor tersebut angkanya
relatif besar, berdasarkan publikasi Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian Republik Indonesia berjumlah 51,3 juta unit usaha, sebuah
angka yang cukup besar. Dan, sektor UMKM dan koperasi, selain jumlahnya besar
juga daya tahannya terhadap krisis lebih kuat, sehingga pemberdayaan sektor ini
lebih aman dan akan berimplikasi langsung pada peningkatan pendapatan
masyarakat di lapisan menengah ke bawah.
Jika
kita hanya mengandalkan pemerintah, dan masyarakat hanya berpangku tangan tanpa
turut serta berperan secara gigih maka upaya berat untuk meningkatkan kualitas
manusia indonesia (IPM) akan gagal total, Kita harus bersama-sama membangun
negeri ini. Kita pasti akan bisa sejajar atau bahkan mengungguli negara lain.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar