FACEBOOK
Oleh:
Wahyudi Oetomo
Siang itu matahari
membakar seluruh permukaan bumi, terasa
memanggang seluruh penghuninya. Karto menghempaskan tas kerjanya ke
kursi tamunya dengan agak keras. Wajahnya tegang, dahinya mengkerut. Kelihatan
betul pikirannya sedang kusut. Setelah melepas sepatunya, ia menuju ruang dapur
untuk mengambil segelas air, mendinginkan kepalanya setelah bertemu banyak masalah di sekolah
tempatnya mengajar.
Karto, seorang guru SMP negeri di sebuah
kecamatan. Dia seorang guru yang berdedikasi tinggi pada tugasnya, berangkatnya
pagi pulangnya kadang sampai sore karena harus menyelesaikan tugas-tugas
sekolah. Karto adalah guru yang bersahaja, namun selalu mengikuti perkembangan
jaman.
Hari ini kepala Karto tambah puyeng ketika
membuka penutup meja makan, tidak mendapatkan makanan sama sekali. Pagi tadi
Karto tidak sempat sarapan karena terburu-buru, dan di sekolah tidak sempat
mampir ke kantin karena ngurusi kasus siswa bertengkar sampai siang. Di rumah,
Karto pun tidak menemukan makan siang.
”Bu,
hari ini kamu tidak masak?”, teriak Karto dari dapur ditujukan kepada istrinya,
yang tengah berada di dalam kamar.
”Bu ....., kamu dengar tidak ?”, suara
Karto tambah keras.
Rupanya istri Karto tidak mendengar teriakan
suaminya. Dia sedang asyik dengan hand
phone-nya. Istri Karto sedang
keranjingan online di internet lewat
hp-nya. Istri Karto sedang keranjingan facebook,
jejaring sosial lewat dunia maya. Dia sibuk meng-uploud fotonya ke facebook.
Sampai-sampai makan siang suaminya tidak diurusi.
Karto
masuk kamar, dan mendapati istrinya memelototi hp-nya, tak berkedip.
”Bu,
kamu tidak masak hari ini?”
”Sebentar
pak, aku masih meng-uploud fotoku ke facebook, sebentar lagi aku akan masak”
Tanpa
berdialog lagi, sehabis ganti baju dan sholat dhuhur Karto mengambil kunci
kontak sepeda motor Fit X kesayangannya, dan cabut ke warung makan untuk makan
siang. Kepala Karto serasa mau pecah, apalagi perutnya kosong, badannya lemah
tak bertenaga. Tingkah istrinya hari ini menambah tensi darah Karto meninggi.
Dia lebih mementingkan urusan internetan dari pada makan siang suaminya.
Sebulan
yang lalu, adiknya Karto, Rinto mampir ke rumah Karto, dan bercerita tentang
internet yang dapat menghasilkan uang.
”Ah,
masak main internet bisa menghasilkan uang, bukan justru menyedot kantong
karena pulsa habis terkuras untuk biaya online?”,
tanya Karto pada waktu itu pada adiknya.
”Coba
baca buku ini, nanti kamu akan mengerti apa maksudku”, kata adiknya sambil
memberikan sebuah buku tentang merias Blog.
Saat
istri Karto ikut-ikutan membaca buku itu, dan tahu kalau hp-nya bisa untuk
internetan, dia malah lebih tertarik online
daripada Karto sendiri. Istri Karto mulai minta tolong pada Karto untuk
dibuatkan sebuah blog. Sejak saat
itu, istri Karto keranjingan internet, lewat hp atau lewat komputer.
Sekarang,
ketika koran banyak membahas facebook,
istri Karto pun tak mau ketinggalan, minta dibuatkan facebook di internet. Akibatnya, tugas-tugasnya sebagai istri dan
ibu sering terbengkalai karena terlalu lama di depan hp atau komputer.
Memang istri Karto termasuk istri gaul. Sayang
hobbi barunya telah menyebabkan pekerjaan rumah tangganya menjadi terbengkalai.
Hampir seminggu istri Karto tidak menyentuh cucian. Dibiarkan menumpuk disudut
kamarnya, hingga berbau sangit. Seragam sekolah anaknya, baju PSH Karto,
daster, kaos kaki, menumpuk menyerupai bukit kecil. Karto, benar-benar hilang
kesabarannya melihat tingkah istrinya yang kian tak terkendali.
“Bu,
kalau kamu tidak pernah mau mendengarkan nasihatku untuk mengurangi hobbi
barumu itu, dan kembali mengerjakan tugas-tugasmu sebagai ibu rumah tangga,
maka aku akan memutus saluran telpon rumah kita, dan aku akan menjual hp
kesayanganmu itu”, pinta Karto pada istrinya pada suatu sore.
“Baik,
aku akan menuruti nasehatmu, aku tidak akan main internet lagi. Aku janji.
Tapi, saluran telpon kita jangan diputus. Nanti, kalau ibumu akan meneleponmu tidak bisa.”, jawab istri
Karto seperti menyesali kesalahannya selama ini.
“Baik,
tapi kamu harus janji tidak akan menyia-nyiakan waktumu berlama-lama di depan
komputer hanya untuk bermain facebook”,
kata Karto mengalah.
Sejak
saat itu, kehidupan normal telah kembali di rumah Karto. Makan siang selalu
tersedia di meja. Cucian tidak pernah sampai menumpuk. Rumah Karto selalu
terlihat rapi. Istri Karto benar-benar telah insyaf.
Hari
itu, Karto pulang agak pagi, karena dia hanya mengajar sampai jam ke empat.
Setelah menstarter motor Fit X-nya, Karto tidak langsung pulang ke rumah, dia
ingat hari ini hari terakhir pembayaran telpon, dan dia langsung menuju kantor
Telkom yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari sekolah tempatnya mengajar.
Karena
hari ini hari terakhir pembayaran rekening telpon, terlihat loket pembayaran
dipenuhi orang. Kalau saja ini bukan hari terakhir, pasti Karto pulang balik ke rumah, bayar keesokan harinya. Kalau bayar
besok harinya, pasti kena denda keterlambatan. Meski, agak sedikit dongkol
Karto tetap antri menunggu namanya dipanggil.
“Karto Dirjo”, teriak petugas loket.
Buru-buru
Karto merangsek menerobos kerumunan orang yang berjubel di depan loket, berdiri
tepat di depan loket.
”Berapa,
Mas?”, tanya Karto.
”Lima
ratus empat puluh ribu, Pak”, jawab petugas loket mantap.
”Apa...?
Kok, sebanyak itu?”, tanya Karto sambil memelototkan matanya.
”Telkomnet
instannya saja, empat ratus sembilan puluh ribu, belum biaya beban, pemakaian hp, dan telepon lokal”, tukas
petugas loket menjelaskan.
Rupanya,
istri Karto belum insyaf, dia masih main facebook ketika Karto di tempat kerja.
Sehingga rekening telepon rumahnya membengkak berlipat-lipat.
Seketika pandangan Karto berkunang-kunang,
lalu gelap. Karto pingsan, karena hanya membawa uang tujuh puluh lima ribu.
Kamal, 21 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar