23 Mei 2012

PEKERJA ANAK, PROBLEM KITA SEMUA


            Semua anak di negeri ini adalah asset bangsa ini kelak di masa depan. Dan semuanya pasti sepakat bahwa seluruh anak di negeri ini harus tumbuh secara wajar dan sehat, secara fisik dan mental. Tak ada satu pun orang tua yang rela membiarkan anak-anaknya turut bertanggung jawab terhadap kebutuhan keluarga. Meski pada akhirnya sebagian orang tua “terpaksa” membiarkan anak-anak mereka turut membantu ekonomi keluarga karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
            Pekerja anak (child labour), merujuk pada pekerja  di bawah usia 18 tahun. Pekerja anak tumbuh karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga . Sebagian besar tumbuhnya pekerja anak karena faktor kemiskinan. Semakin besar jumlah pekerja anak di negeri ini. maka bisa menjadi indikasi bahwa  angka kemiskinan di negeri ini juga tinggi. Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 3,5 juta anak, sedangkan menurut data BPS ada sekitar 4 juta anak usia 7 sampai dengan 18 tahum terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Anak-anak pekerja tersebut terdapat diseluruh wilayah Indonesia, tersebar di daerah yang menjadi tempat pekerja seperti pelabuhan, industri, pertambangan, perkebunan, dan rumah tangga.
            Jika angka kemiskinan di negeri ini terus meningkat, maka upaya untuk mengurangi atau bahkan menghapus pekerja anak sangat sulit dilakukan (kalau tidak mau dikatakan mustahil). Tugas mengurangi dan menghapus pekerja anak  secara formal memang ada pada pemerintah, namun bila tidak didukung oleh pihak lain yang bersentuhan dengan persoalan pekerja anak, maka usaha ini akan sangat berat bagi pemerintah.
                Pada tahun 2011 ini, pemerintah menargetkan sebanyak 3.360 pekerja anak dapat ditarik dari tempat kerjanya. Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI mengatakan: "Saya menyatakan warning kepada perusahaan dan orang tua yang memperkerjakan anak. Itu peringatan yang tegas, kami peringatkan sekali lagi,  siapa saja yang melanggar akan segera ditindak sesuai hukum yang berlaku.”
            Menurut Menakertrans, pemerintah berkomitmen untuk menghapus pekerja anak. Komitmen ini terlihat dengan diratifikasinya kedua Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja dan Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Selain itu isi substansi tehnis kedua Konvensi ILO terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh  karena itu, para pelanggar bisa dijerat Undang-undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dan UU tentang Ratifikasi Konvensi ILO pada Pekerjaan terburuk untuk anak (UU No.20 Tahun 1999 dan UU No 1. Tahun 2000) atau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
            Lalu, apakah sekedar memberikan warning kepada perusahan dan orang tua dengan ancaman hukuman yang berat persoalan pekerja anak dengan mudah dapat diselesaikan? Jika tumbuhnya pekerja anak hanya sekedar mengeksploitasi anak untuk memperoleh kepentingan ekonomi, karena upah pekerja anak jauh lebih  murah dari pekerja dewasa, maka memberantas pekerja anak akan mudah dilakukan. Tapi, jika tumbuhnya pekerja anak karena tuntutan pemenuhan kebutuhan perut, maka persoalan pekerja anak tidak cukup diselesaikan dengan cara memberikan peringatan dan ancaman kepada perusahaan dan orang tua yang mendorong praktik pekerja anak.
            Saat orang tua tidak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga selain memperkerjakan anak adalah memperdagangkan anak (Child trafficking). Kedua bentuk eksploitasi anak tersebut semestinya memang harus dihentikan. Alasan kemiskinan bukan pembenaran untuk mengeksploitasi anak, sehingga masa depannya akan gelap, terutama karena anak-anak tersebut tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik.
            Melakukan penyadaran mengenai pentingnya memberikan ruang tumbuh dan berkembang bagi anak secara sehat dan wajar, kepada orang tua yang berasal dari keluarga miskin harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait, atau oleh lembaga swadaya masyarakat, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, mandiri, dan trampil tanpa harus menjadi pekerja anak.
            Upaya penting mengurangi semakin meningkatnya jumlah pekerja anak di negeri ini adalah melalui sentuhan dunia pendidikan. Dunia sekolah melalui guru dapat secara intens memberikan pemahaman khususnya kepada peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu agar selalu tetap memelihara semangat untuk bersekolah. Sekolah harus selalu mengupayakan agar peserta didik tidak putus sekolah, terutama karena alasan ketidakmampuan membayar biaya sekolah.
            Penanaman kesadaran kepada orang tua agar tidak memaksakan anak turut menanggung beban ekonomi keluarga harus dilakukan secara intens lewat penyuluhan secara berkala di kantong-kantong kemiskinan, ini bisa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas sosial, atau oleh komisi perlindungan anak. Pelibatan lembaga swadaya masyarakat yang concern pada penyelamatan masa depan anak juga harus dilakukan. Meskipun upaya menghapus praktik pekerja anak sama sekali adalah pekerjaan mustahil selama kemiskinan mendera sebagian masyarakat kita, namun upaya untuk mengurangi angka pekerja anak di negeri ini harus tetap dilakukan dengan sekuat tenaga. Semua anak di negeri ini harus tumbuh dan berkembang secara wajar, dan memperoleh layanan pendidikan yang optimal. Upaya ini harus dilakukan oleh kita semua, karena masalah pekerja anak adalah masalah kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pidato Mendikbudristek untuk upacara peringatan Hardiknas 2023.pdf

     Teks bisa di unduh disini