Adagium “ganti menteri ganti kurikulum”,
begitu melekat dalam persepsi publik (masyarakat). Persepsi yang demikian
menunjukkan kegagalan fungsi edukasi Kementerian pendidikan dan kebudayaan
(Kemdikbud) terhadap masyarakat terhadap perubahan kurikulum.
Kurikulum
pendidikan pada suatu negara tidak boleh statis atau mengalami stagnasi pada
suatu titik. Kurikulum pendidikan akan selalu di update untuk mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula yang
sedang terjadi di negara kita saat ini. Pemerintah melalui Kemdikbud telah mengintroduksi kurikulum baru, yakni
kurikulum 2013 yang akan menggantikan kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP).
Perubahan
kurikulum yang didasarkan atas perbaikan konten kurikulum sehingga adaptif
terhadap perubahan jaman mutlak diperlukan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang mulai berlaku sejak
tahun 2006 dipandang oleh Kemdikbud perlu dirombak karena dipandang masih
memiliki beberapa kelemahan, misalnya : konten kurikulum masih terlalu padat;
kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi; kompetensi belum menggambarkan
secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; kurikulum belum
peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal,
nasional, maupun global; standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan
pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam
dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; dan standar penilaian
belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan
belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala.
Ketika
Mendikbud M. Nuh menyampaikan beberapa hal terkait dengan draf kurikulum baru
(2013) di media massa, sering membuat stakeholder dunia pendidikan terkaget-kaget dengan
perubahan kurikulum tersebut. Misalnya penghapusan mata pelajaran IPA dan IPS
di SD, atau penghapusan pelajaran TIK di
tingkat SMP. Juga rencana tidak akan mewajibkannya para tenaga pendidik untuk
membuat silabus.
Satu
hal yang mungkin tidak membuat kaget pemerhati dunia pendidikan adalah
penonjolan nilai perilaku, kepribadian dan budi pekerti/pendidikan karakter
dalam kurikulum 2013. Konten pendidikan karakter sudah cukup lama diidealisasi
untuk diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan nasional. Dunia pendidikan
dianggap dapat menjadi sarana yang efektif untuk menanamkan karakter budi
pekerti luhur untuk mengobati dekadensi moral yang sedang dialami bangsa ini.
Ada
hal baru yang cukup menarik untuk diperbincangkan dalam kurikulum 2013, yaitu
dicabutnya kewenangan guru untuk menyusun silabus. Pemerintah akan mengambil
alih kembali dalam penyusunan silabus. Menurut Mendikbud, kebijakan ini
diperlukan karena kualitas guru belum mampu untuk membuat silabus tersebut. Ah,
begitu rendahkah kualitas guru kita sehingga menyusun silabus saja tidak mampu?
Meskipun begitu, kebijakan tersebut pasti akan disyukuri oleh sebagian guru
karena merasa sebagian beban pekerjaannya berkurang.
Jika
kurikulum 2013 hanya memberi ruang kepada guru dalam hal penyusunan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), karena kewenangan menyusun silabus telah
“dicabut” maka guru hanya perlu menyiapkan mental untuk menumbuhkan komitmen
secara sungguh-sungguh turut mengawal suksesnya kurikulum 2013, sambil menunggu
pelatihan (diklat) yang rencananya akan segera dilakukan pada bulan April kepada
guru-guru.
Pada
tahap awal pemberlakuan kurikulum baru, meskipun telah melalui uji publik, pasti
akan menimbulkan kegaduhan. Ada yang merasa diuntungkan namun juga pasti ada
yang merasa dirugikan saat kurikulum baru diterapkan. Rencana penghapusan jurusan
di SMA, dan penerapan mata pelajaran berdasarkan pilihan akan berdampak pada
terkuranginya jam pelajaran tertentu, karena kurangnya peminat terhadap mata
pelajaran tersebut. Namun, pada sisi yang lain akan menyebabkan jam yang overload pada mata pelajaran yang
peminatnya banyak. Dan, jika hal ini tidak diantisipasi dari awal tentu akan
memunculkan permasalahan baru.
Rencana
penghapusan mata pelajaran TIK di SMP mendapat respon yang cukup banyak dalam
uji publik kurikulum 2013. Yang paling banyak adalah menanyakan nasib guru-guru
yang sudah disertifikasi pada mata pelajaran TIK. Penghapusan mata pelajaran
TIK dan TIK akan menjadi media untuk semua mata pelajaran di SMP membuat banyak
guru TIK di SMP resah. Mereka mempertanyakan posisi mereka (guru TIK) dalam
struktur kurikulum 2013. Saat fakta belum semua guru menguasai perangkat TIK, ada wacana menjadikan guru TIK sebagai
guru pembimbing TIK bagi guru-guru mata pelajaran dan pembimbingan tersebut
dapat dikonversikan dalam jam pelajaran.
Meski
dengan alasan menjalankan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2010-2014 pada sektor pendidikan, tetap terkesan kurikulum 2013 tidak disiapkan
secara matang. Dan jika ini benar, maka akan banyak menimbulkan masalah baru
pada tahap awal pemberlakuannya. Jika Kemdikbud belum terlalu siap untuk
memberlakukan kurikulum 2013 lebih baik mengundurkan waktu penerapannya
yakni pada tahun 2014.
Bila pemerintah tetap percaya diri
dan kokoh pada pendiriannya untuk menerapkan kurikum baru tersebut pada tahun
2013, maka optimisme harus tetap ditanamkan. Setiap perubahan idealismenya
adalah berubah menjadi lebih baik. Sisa waktu yang amat pendek ini harus
benar-benar digunakan oleh Kemdikbud untuk memfinalisasi kurikulum 2013
sehingga tidak kontraproduktif dalam pelaksanaannya, karena beberapa bagian
dari kurikulum baru tersebut masih menjadi diskusi publik dan kontroversial. Semoga
kurikulum ini tidak sekedar ganti menteri ganti kurikulum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar